Selasa, 08 September 2009

Harian Kompas memberitakan, Sungai Citarum serta Waduk Saguling dan Cirata di Kabupaten Bandung tercemar logam berat. Dalam daging ikan mas dan nila yang hidup di waduk tersebut ditemukan kandungan merkuri (Hg), tembaga (Cu), dan seng (Zn) dengan kadar yang cukup membahayakan. Logam berat itu diketahui terkonsentrasi di perut, lemak, dan daging ikan.
Temuan ini diikuti dengan imbauan agar masyarakat berhati-hati mengonsumsi ikan air tawar. Maklumlah, akumulasi logam berat di tubuh manusia, dalam jangka panjang, dapat menyebabkan berbagai gangguan kesehatan, seperti penyakit minamata, bibir sumbing, kerusakan susunan saraf, dan cacat pada bayi.
Aparat terkait mengaku bahwa mereka telah berupaya untuk mencegah pencemaran tersebut dengan berbagai cara. Secara garis besar sebenarnya ada dua cara yang bisa dilakukan untuk mencegah dan mengatasi pencemaran perairan oleh logam berat, yaitu cara kimia dan biologi.
Cara kimia, antara lain dengan reaksi chelating, yaitu memberikan senyawa asam yang bisa mengikat logam berat sehingga terbentuk garam dan mengendap. Namun, cara ini mahal dan logam berat masih tetap berada di waduk meski dalam keadaan terikat.
UNTUNGLAH ada penanggulangan secara biologi yang bisa menjadi alternatif terhadap mahalnya penanggulangan dengan cara kimia. Salah satunya adalah dengan memanfaatkan eceng gondok (Eichornia crassipes).
Eceng gondok selama ini lebih dikenal sebagai tanaman gulma alias hama. Padahal, eceng gondok sebenarnya punya kemampuan menyerap logam berat. Kemampuan ini telah diteliti di laboratorium Biokimia, Institut Pertanian Bogor, dengan hasil yang sangat luar biasa.
Penelitian daya serap eceng gondok dilakukan terhadap besi (Fe) tahun 1999 dan timbal (Pb) pada tahun 2000.
Untuk mengukur daya serap eceng gondok terhadap Fe, satu, dua, dan tiga rumpun eceng gondok ditempatkan dalam ember plastik berisi air sumur dengan tambahan 5 ppm FeSO untuk menjaga keasaman.
Konsentrasi Fe diukur pada hari ke-0, 7, 14, dan 21 dengan menggunakan spektrofotometer serapan atom pada panjang gelombang 248,3 nm. Hasilnya terlihat pada Tabel 1.
Dalam tabel itu bisa dilihat adanya penurunan kadar logam Fe secara signifikan pada hari ke-7. Kadar logam Fe menurun 3,177 ppm (65,45 persen) untuk 1 rumpun eceng gondok, 3,511 ppm (71,93 persen) untuk dua rumpun eceng gondok dan 3,686 ppm (74,47 persen) untuk tiga rumpun eceng gondok.
Selanjutnya terlihat, semakin lama semakin banyak logam besi yang diserap. Pada hari ke-28, konsentrasi Fe hampir mendekati 0 untuk perlakuan dua rumpun eceng gondok dan tiga rumpun eceng gondok.
Berdasarkan analisis statistik diketahui bahwa pada hari ke-7, 14, dan 21, eceng gondok memberikan respon nyata dalam menurunkan logam Fe untuk ketiga perlakuan. Namun, pada hari ke-28 eceng gondok yang berjumlah 2-3 rumpun memberikan respon yang tidak berbeda nyata dalam menurunkan logam besi.
PENELITIAN untuk melihat kemampuan eceng gondok menyerap timbal (Pb) dilakukan sebagai berikut. Satu, tiga, lima rumpun eceng gondok ditempatkan di dalam ember plastik berisi air sumur dan larutan Pb(NO3) sebesar 5 ppm. Konsentrasi Pb diukur ketika hari ke-0, 7, 14, 21, dan 28 dengan spektrofotometer serapan atom pada panjang gelombang 217 nm. Hasilnya sebagaimana tertera dalam Tabel 2.
Dari tabel tersebut terlihat, ada penurunan kadar logam Pb secara signifikan pada hari ke-7. Kadar logam Pb menurun 5,167 ppm (96,4 persen) pada perlakuan satu rumpun eceng gondok, menurun 5,204 ppm (98,7 persen) pada perlakuan tiga rumpun, dan menurun 6,019 ppm (99,7 persen) pada perlakuan lima rumpun dari konsentrasi hari ke-0.
Analisis pada hari-hari selanjutnya (hari ke-14, 21, dan 28) menunjukkan perubahan kadar Pb tidak terlalu jauh dengan kadar logam Pb pada hari ke-7.
Eceng gondok terbukti mampu menurunkan kadar polutan Pb dan Fe. Oleh karena itu, diyakini eceng gondok juga mampu menurunkan kadar polutan Hg, Zn, dan Cu yang mencemari Waduk Saguling dan Cirata. Sebab, secara struktur kimia, atom Hg, Zn, dan Cu termasuk dalam golongan logam berat bersama Pb dan Fe.
Rangkaian penelitian seputar kemampuan eceng gondok dalam menyerap logam berat juga telah dilakukan oleh para pakar. Widyanto dan Susilo (1977) melaporkan, dalam waktu 24 jam eceng gondok mampu menyerap logam kadmium (Cd), merkuri (Hg), dan nikel (Ni), masing- masing sebesar 1,35 mg/g, 1,77 mg/g, dan 1,16 mg/g bila logam itu tak bercampur. Eceng gondok juga menyerap Cd 1,23 mg/g, Hg 1,88 mg/g dan Ni 0,35 mg/g berat kering apabila logam-logam itu berada dalam keadaan tercampur dengan logam lain.
Lubis dan Sofyan (1986) menyimpulkan logam chrom (Cr) dapat diserap oleh eceng gondok secara maksimal pada pH 7. Dalam penelitiannya, logam Cr semula berkadar 15 ppm turun hingga 51,85 persen.
SELAIN dapat menyerap logam berat, eceng gondok dilaporkan juga mampu menyerap residu pestisida, contohnya residu 2.4-D dan paraquat.
Pada percobaan Chossi dan Husin (1977) diketahui eceng gondok mampu menyerap residu dari larutan yang mengandung 0,50 ppm 2.4-D sebanyak 0,296 ppm dan 2,00 ppm 2.4-D sebanyak 0,830 ppm dalam waktu 96 jam.
Adapun paraquat yang diserap oleh eceng gondok dari dua kadar, yaitu 0,05 ppm dan 0,10 ppm masing-masing adalah 0,02 ppm dan 0,024 ppm.
Dari hasil penelitian-penelitian itu dapat disimpulkan ternyata eceng gondok tidaklah sia-sia dicipta oleh Tuhan Yang Maha Esa, apalagi sebagai pengganggu manusia. Eceng gondok dapat dinyatakan sebagai pembersih alami perairan waduk atau danau terhadap polutan, baik logam berat maupun pestisida atau yang lain.
MEMANG dilaporkan eceng gondok dapat tumbuh sangat cepat pada danau maupun waduk sehingga dalam waktu yang singkat dapat mengurangi oksigen perairan, mengurangi fitoplankton dan zooplankton serta menyerap air sehingga terjadi proses pendangkalan, bahkan dapat menghambat kapal yang berlayar pada waduk.
Namun, apa arti sebuah danau yang bersih dari eceng gondok jika ternyata air dan ikan yang ada di dalamnya tercemari polutan?
Bahkan, bila suatu danau polutan sangat tinggi dan tidak ada tanaman yang menyerapnya, pencemaran dapat merembes ke air sumur dan air tanah di sekitar danau.
Agar danau bebas polusi namun pertumbuhan eceng gondoknya terkendali, tentu saja diperlukan pengelolaan danau secara benar.
Untuk mengeliminasi gangguan eceng gondok, misalnya, caranya bisa dengan membatasi populasinya. Pembatasan dapat dilakukan dengan membatasi penutupan permukaan waduk oleh eceng gondok tidak lebih dari 50 persen permukaannya.
Akan jauh lebih baik lagi bila pembatasan populasi ini dilakukan dengan melibatkan masyarakat sekitar. Sebab, dahan eceng gondok adalah serat selulosa yang dapat diolah untuk berbagai keperluan, seperti barang kerajinan maupun bahan bakar pembangkit tenaga listrik.
Namun, masyarakat tidak disarankan untuk memberikan eceng gondok sebagai pakan pada ternak karena polutan yang diserapnya bisa terakumulasi dalam dagingnya.
Masyarakat sekitar bisa diberi pelatihan mengenai pengolahan eceng gondok menjadi produk-produk yang bernilai ekonomi, mulai dari anyaman dompet, tas sekolah, topi, bahkan juga mebel.
Pengendalian populasi eceng gondok yang melibatkan masyarakat akan memberikan keuntungan bagi pengelola waduk sekaligus masyarakat di sekitarnya. Pengelola waduk tidak perlu mengeluarkan banyak tenaga untuk “memanen” eceng gondok karena tumbuhan air tersebut akan “dipanen” sendiri oleh masyarakat.
Pengelola cukup membantu masyarakat untuk memasarkan hasil kerajinannya. Adapun masyarakat jelas tidak hanya meningkat pendapatannya, tetapi juga hidup sehat karena terbebas dari ancaman bahan makanan yang tercemar.
________________________________________
Salah Satu Manfaat Enceng Gondok
Ancaman eceng gondok
Apakah eceng gondok adalah ancaman? Itu mungkin masih akan memicu perdebatan, namun setidaknya jenis gulma satu ini memang pernah menjadi ancaman di Danau Kerinci. Bagaimana tidak bila hampir dua pertiga bagian danau sampai tertutup olehnya, dan efeknya terasa langsung oleh masyarakat sekitar dimana tangkapan ikan yang pada tahun 1960 volumenya sampai 780 ton merosot jauh hingga pada tahun 1976 hanya tinggal sepertiganya.
Eichhornia crassipes (dengan nama ilmu pengetahuan mengenalnya) pertama kali ditemukan secara tidak sengaja oleh seorang ilmuan bernama Carl Friedrich Philipp von Martius, seorang ahli botani berkebangsaan Jerman pada tahun 1824 ketika sedang melakukan ekspedisi di Sungai Amazon Brasil. Eceng gondok tumbuh di kolam-kolam dangkal, tanah basah dan rawa, aliran air yang lambat, danau, tempat penampungan air dan sungai.


Kerajaan: Plantae
Divisi: Magnoliophyta
Kelas: Liliopsida
Ordo: Commelinales
Famili: Pontederiaceae
Genus: Eichhornia
Spesies: Eichhornia crassipes
Keberadaannya di Indonesia pada awal mula adalah karena didatangkan untuk jadi hiasan, tapi kemudian berubah jadi hama karena pertumbuhannya yang cepat dalam kerapatan yang sangat padat. Pertumbuhan eceng gondok yang cepat terutama disebabkan oleh air yang mengandung nutrien yang tinggi, terutama yang kaya akan nitrogen, fosfat dan potasium. Tumbuhan ini dapat mentolerir perubahan yang ektrim dari ketinggian air, laju air, dan perubahan ketersediaan nutrien, pH, temperatur dan racun-racun dalam air.
Hidupnya mengapung di air dan kadang-kadang berakar dalam tanah dengan tinggi sekitar 0,4 – 0,8 meter. Eceng gondok tidak mempunyai batang sementara daunnya tunggal dan berbentuk oval dengan bagian ujung dan pangkal yang meruncing, pangkal tangkai daunnya menggelembung sedangkan permukaan daunnya licin dan berwarna hijau.
Bunganya termasuk bunga majemuk, berbentuk bulir dan kelopaknya berbentuk tabung. Bijinya berbentuk bulat dan berwarna hitam. Buahnya kotak berruang tiga dan berwarna hijau. Akarnya merupakan akar serabut.
Tidak diketahui sejak kapan dan bagaimana tumbuhan ini bisa ada di Kerinci, namun sejak kedatangannya banyak sekali akibat-akibat negatif yang ditimbulkan eceng gondok baik secara langsung seperti berkurangnya tangkapan ikan yang disebutkan diatas maupun akibat yang tidak langsung.
Daun-daunnya yang lebar dan serta pertumbuhannya yang cepat meningkatkan evapotranspirasi (penguapan dan hilangnya air melalui daun-daun tanaman) dan ini juga otomatis mengakibatkan menurunnya jumlah cahaya yang masuk kedalam perairan sehingga menyebabkan menurunnya tingkat kelarutan oksigen dalam air (DO: Dissolved Oxygens).
Tumbuhan eceng gondok yang sudah mati sekalipun juga masih akan menimbulkan masalah, karena ia akan turun ke bagian dasar sehingga mempercepat terjadinya proses pendangkalan… ini tentu saja akan mengganggu lalu lintas (transportasi) air.
Dikatakan juga bahwa keberadaan eceng gondok memicu meningkatnya habitat bagi vektor penyakit pada manusia. Selain itu ia juga menurunkan nilai estetika lingkungan perairan, okelah ada sebagian orang yang berpendapat bahwa bunganya yang berwarna ungu terbilang indah… namun bila sudah pernah melihatnya dalam jumlah besar sehingga mampu menutupi 2/3 Danau Kerinci yang seluas 4.200 hektar maka anda akan setuju dengan pendapat ini.
Banyaknya efek negatif inilah yang membuat pemda dan masyarakat kerinci menguji coba berbagai cara untuk memberantasnya, mulai dari pengangkatan hingga penyemprotan dengan herbisida, namun si eceng benar-benar membuat gondok. Selain usaha pemberantasan, dikenalkan juga-juga berbagai bentuk pemanfaatan yang lagi-lagi tidak berpengaruh banyak karena kecepatan pertumbuhannya jauh diatas kemampuan masyarakat mengolah.
Upaya pengendalian eceng gondok secara biologi dimulai tahun 1995 ketika Pemda Kabupaten Kerinci bekerja sama dengan Dinas Perikanan Provinsi Jambi, Puslitbang Limologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) serta Fakultas Perikanan IPB mulai tahun 1995 melakukan program manipulasi biologi menggunakan ikan grass carp/koan (Clenophoryingodon idella) yang berasal dari daratan Cina.
Ikan grass carp memakan akar eceng gondok, sehingga keseimbangan gulma di permukaan air hilang, daunnya menyentuh permukaan air sehingga terjadi dekomposisi dan kemudian dimakan ikan. Ikan koan ini merupakan hewan pemangsa tanaman air (herbivora) dan dianggap bakal mudah beradaptasi di Indonesia karena masih kerabat dekat ikan mas sehingga bisa dikonsumsi, beberapa negara Afrika juga sudah membuktikan keampuhan ikan ini.
Langkah pengamanan tetap dilakukan untuk mencegah masuknya bakteri dan penyakit yang mungkin terbawa, untuk itu bibit ikan dari Cina dikembangbiakkan dulu dalam kolam Balai Penelitian Perikanan Air Tawar di Sukabumi (Jawa Barat). Setelah dinyatakan bersih, barulah ikan tersebut dikirim ke Kerinci. Sebelum betul-betul ditugasi, lima ribu benih ikan ini menjalani uji terakhir di kolam milik Dinas Perikanan Kerinci.
Sukses di tingkat percobaan, pada tahun 1994 disebarlah 48 ribu benih ikan koan ke Danau Kerinci. Diperkirakan, untuk membersihkan danau yang luasnya 100 kali kompleks MPR/DPR dan punya kedalaman 110 meter ini diperlukan 2 juta benih ikan koan. Nyatanya, dengan 48.500 ekor ikan koan saja, di tahun 1997 permukaan danau sudah terlihat bersih dengan eceng gondok tinggal hanya 5 persen saja.
Manfaat eceng gondok
Setiap makhluk punya manfaat, hukum ini juga berlaku pada tumbuhan yang menjadi bahasan kita sekarang. Pemanfaatan eceng gondok yang sudah banyak ditemui misalnya sebagai bahan pembuatan kertas, kompos, biogas, perabotan, kerajinan tangan, maupun sebagai media pertumbuhan bagi jamur merang.
Contoh pemanfaatan tadi biarlah ditunda dulu untuk dibahas dalam sesi tersendiri bila waktunya nanti, karena banyak bahan yang perlu dikumpulkan untuk keperluan tersebut agar lebih valid dan mendalam. Kali kita lanjutkan dulu dengan manfaat alami eceng gondok sebagai tumbuhan.
Pembersih polutan logam berat
Penelitian daya serap eceng gondok sudah dilakukan terhadap besi (Fe) tahun 1999 dimana terbukti penurunan kadar logam Fe menurun 3,177 ppm (65,45 persen) untuk tiap rumpun eceng gondok dalam 7 hari.
Demikian pula pengujian pada timbal (Pb) di tahun 2000 dimana satu rumpun eceng gondok pada hari ke-7 mampu menurunkan kadarnya 5,167 ppm (96,4 persen).
Sebelumnya Widyanto dan Susilo (1977) melaporkan bahwa dalam waktu 24 jam eceng gondok mampu menyerap logam kadmium (Cd), merkuri (Hg), dan nikel (Ni) masing- masing sebesar 1,35 mg/g, 1,77 mg/g, dan 1,16 mg/g bila logam itu tak bercampur. Eceng gondok juga mampu menyerap Cd 1,23 mg/g, Hg 1,88 mg/g dan Ni 0,35 mg/g berat kering apabila logam-logam itu berada dalam keadaan tercampur dengan logam lain.
Lubis dan Sofyan (1986) menyimpulkan logam chrom (Cr) dapat diserap oleh eceng gondok secara maksimal pada pH 7. Dalam penelitiannya, logam Cr semula berkadar 15 ppm turun hingga 51,85 persen. Selain logam berat, eceng gondok dilaporkan juga mampu menyerap residu pestisida.
Penyerap bahan organik
Kecepatan penyerapan zat pencemar dari dalam air limbah oleh eceng gondok dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya komposisi dan kadar zat yang terkandung dalam air limbah, kerapatan eceng gondok, dan waktu tinggal eceng gondok dalam air limbah.
Dari hasil percobaan laboratorium diperoleh simpulan, kecepatan penyerapan Nitrogen (N2) yang maksimal dipengaruhi oleh kerapatan tanaman, sedangkan kecepatan penyerapan Phosphat (P) tidak saja dipengaruhi oleh kandungan Phosphat di dalam air dan kerapatan eceng gondok, tetapi dipengaruhi pula oleh kadar Posphat dalam jaringan. Faktor penunjuk lainya yang mempengaruhi penyerapan senyawa Nitrogen dan Phosphat adalah waktu detensi zat tersebut di dalam limbah yang ditumbuhi oleh eceng gondok.
Ada pun penurunan terbesar kadar Ammonium (NH4+) dan Nitrat (NO3) pada percobaan dengan kadar tertinggi diperoleh setelah 35 hari. Penyerapan kadar Phosphat dalam bentuk OrthoFosfat (PO43-) adalah sekira 80,150, dan 250 mg dari masing-masing perlakuan yang mengandung 50 mg/I, 100 mg/I, dan 250 mg/l.
Besarnya kandungan suatu zat di dalam air limbah akan memengaruhi peningkatan biomassa tanaman. Beberapa penelitian menyatakan bahwa kandungan unsur hara yang berlebihan di dalam air limbah dapat menimbulkan keracunan organ eceng gondok, contohnya gejala keracunan bila kadar Nitrogen di dalam media mencapai 6,525 mg/l.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar