Selasa, 08 September 2009

Incinerator, berkah atau bencana

Incinerator solusi untuk menyelesaikan masalah sampah ? BERKAH ATAU BENCANA ?
Permasalahan sampah di DKI Jakarta sangatlah pelik, dari mulai mencari lokasi penimbunan yang selalu menimbulkan gejolak penolakan masyarakat disekitarnya, sampai mencari solusi penanganan/ pemusnahan yang penuh intrik dan kepentingan bisnis berbagai pihak. Sehingga Gubernur Sutiyoso pun dibuat pusing olehnya, melebihi pusingnya menghadapi para demonstran yang menentang pengangkatannya dulu. Masalah sampah tidak dapat dibiarkan begitu saja, seperti menghadapi demostran didiamkan akan hilang sendirinya seiring berjalannya waktu. Sampah semakin dibiarkan akan semakin menumpuk, menunda membersihkannya berarti semakin menumpuk permasalahan yang akan ditimbulkannya.
Walaupun demikian pelik, tetapi memusnahkan sampah dengan membakar menggunakan incinarator bukanlah solusi yang tepat, bahkan sangat membahayakan kelangsungan kehidupan. Banyak permasalahan yang ditimbulkan oleh incinerasi sampah dibandingkan manfaat yang dihasilkannya. Memang secara kasat mata volume reduksi yang dihasilkannya sangat menjanjikan, dari segunung sampah padat dapat menjadi hanya beberapa karung abu. Tetapi ada hal yang tidak kasat mata dan dapat dibuktikan secara kimiawi dihasilkan pada proses pembakaran sampah. Banyak senyawaan kimia sangat beracun terbentuk pada proses pembakaran sampah yang tidak terkontrol, apalagi jika sampah yang dibakar adalah sampah yang heterogen, belum lagi ditinjau dari segi ekonomi dan dampak sosialnya.
Tulisan ini akan mengupas sedikit tentang dampak pembakaran sampah dengan incinerator, sehingga masyarakat umum dapat memahami. Terutama para pengambil kebijakan dalam persampahan, dapat bersikap lebih arif dan berfikir berulang kali, sebelum memutuskan untuk mengolah sampah padat dengan membakar menggunakan incinerator. Hal yang perlu menjadi suatu pertimbangan sangat penting dalam incenerasi sampah ialah, tentang polutan yang dilepaskan ke udara atau media lainnya, biaya yang diperlukan dan tenaga kerja yang tersingkirkan serta hilangnya energi pada proses incinerasi.

Banyak polutan yang dihasilkan pada incinerasi sampah, apalagi sifat sampah domestik (sampah rumah tangga dan pasar) yang heterogen. Segala macam benda ada didalamnya, sisa makanan, sisa sayuran dan buah-buahan, bekas pembungkus (kaleng, karton dan plastik), kayu, logam, batu, gelas dan lain-lainnya. Sampah yang heterogen ini jika langsung di incinerasi tanpa dilakukan pemilahan sebelumnya maka hasilnya sangatlah berbahaya. Sampah basah, sisa makanan, buah-buahan dan sayuran jika akan diincinerasi memerlukan energi yang sangat besar untuk mngeringkannya sebelum dapat terbakar. Sedangkan material sampah yang berupa logam, batu, tanah dan gelas tidak dapat terbakar, material ini hanya akan menggangu proses pembakaran dan memboroskan energi.

Dioksin dan Furan.
Hasil emisi yang paling berbahaya pada pembakaran sampah heterogen ialah terbentuknya senyawa dioksin dan furan. Dioksin dan furan adalah sekelompok bahan kimia yang tidak berwarna dan tidak berbau. Dalam molekulnya mengandung atom karbon, hidrogen, oksigen dan klor. Dioksin terdiri dari 75 senyawaan kimia yang dibedakan oleh posisi dan jumlah atom klornya, sedangkan furan terdiri dari 135 senyawaan.
Dioksin dilingkungan dapat bertahan dengan waktu paro (waktu yang diperlukan sehingga jumlahnya tinggal separonya) sekitar tiga tahun, tetapi akibat yang telah ditunjukkannya karena masuknya dioksin dalam rantai makanan sangat mengerikan. Pengaruh dioksin pada manusia telah banyak menjadi perbincangan dalam dua dekade terakhir, bukan karena kesabilan dari dioksin tetapi disebabkan karena dioxin itu adalah suatu racun yang sangat kuat. Dioksin saat ini dipercaya sebagai senyawa yang paling beracun yang pernah ditemukan manusia, karena dapat menyebabkan kerusakan organ secara luas misalnya, gangguan fungsi hati, jantung, paru, ginjal serta mengganggu fungsi metabolisme dan menyebabkan kerusakan pada sistem kekebalan tubuh. Pada percobaan terhadap binatang di laboratorium, dioksin menunjukkan carcinogenic (penyebab cancer ), teratogenic (penyebab kelahiran cacat) dan mutagenic (penyebab kerusakan genetic). Dari seluruh golongan senyawa dioksin yang paling beracun ialah senyawa 2,3,7,8-Tetra-Chloro-Dibenzo-para-Dioxin atau disingkat 2,3,7,8-TCDD yang menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO) mempunyai nilai tingkat bahaya racun (TEF/Toxic Equivalency Factors) adalah 1 (satu) dan ini merupakan nilai yang paling tinggi dibandingkan dengan Strychnine (racun tikus) hanya 1/2000 dan Sianida (banyak digunakan untuk meracuni ikan) yang hanya 1/150.000.

Kejadian masa lalu yang menyebabkan manusia terpapar oleh dioksin adalah kasus Orange Agent (yang terkontaminasi dioksin), yaitu herbisida yang digunakan oleh tentara Amerika pada perang Vietnam untuk merontokkan daun agar hutan menjadi gundul dan musuh dapat terlihat. Telah menyebabkan banyak kasus kematian akibat kanker dan bayi lahir cacat di Vietnam usai perang melawan Amerika, bahkan para veteran tentara Amerika pun banyak yang terkena kanker setelah terpapar dioksin.
Baik dioksin maupun furan tidak mempunyai nilai komersial, senyawaan ini terbentuk secara tidak sengaja karena akibat aktifitas manusia, misalnya pada pembakaran sampah atau produk samping pada pembuatan pestisida seperti Pentachlorophenol (PCP). Pada proses pembakaran sampah, terutama jika sampah yang dibakar adalah material organik yang kompleks (lignin, kayu, kertas, plastik, dll) dengan adanya donor atom Klor (garam dapur/natrium klorida, asam klorida, senyawaan organik yang mengandung klor, plastik/PVC, dll). Campuran material tersebut jika dibakar pada suhu antara 400oC sampai dengan 600oC sangat berpotensi terbentuk dioksin, apalagi jika pembakarannya tidak sempurna, kekurangan oksigen dan pemanasannya tidak merata. Dioksin 98% terbentuk di fly ash (abu hasil pembakaran) dan bukan di asapnya. Tetapi jika suhu pembakarannya lebih besar dari 800oC (tidak perlu sampai 1500oC) maka dioksin akan hancur terurai membentuk karbon dioksida/CO2 , air/H2O dan asam klorida/HCl.
Pada tahun 2000 lalu, WHO merekomendasikan bahwa jumlah dioksin yang diperbolehkan masuk ke dalam tubuh manusia per hari agar tidak menimbulkan bahaya (Tolerable Daily Intake) adalah 1 sampai dengan 4 pikogram ( 10-12 gram) per kilogram berat badan. Untuk mendeteksi dioksin adalah sangat sulit karena jumlahnya yang sangat kecil sekali sehingga diperlukan suatu instrumen yang sangat sensitif yaitu GCMS (Gas Chromatograph Mass Spectrometer)-High Resolution, bahkan di Indonesia tidak ada satu Laboratoriumpun yang kompeten untuk menganalisanya.

Logam berat dan gas pembentuk hujan asam.
Selain dioksin dan furan, incinerator juga merupakan sumber utama pencemar logam berat misalnya, mercury (Hg), timbal (Pb), kadmium(Cd), arsen(As), cromium(Cr) dan gas pembentuk hujan asam yaitu oksida nitrogen (NOx) dan oksida sulfur (SOx). Logam-logam berat tersebut pada proses incinerasi sangat mudah menguap, walaupun telah berbentuk oksidanya sifat racunnya hampir tidak berkurang. Misalnya mercury, merupakan racun yang sangat kuat menggangu sistem saraf, panca indera dan menurunkan kecerdasan, demikian pula pengaruh logam-logam berat lain pada umumnya.
Oksida nitrogen (NOx) dan oksida sulfur (SOx) adalah gas pembentuk hujan asam, jika banyak terdapat diudara dan terjadi hujan maka airnya akan bersifat asam. Hujan asam ini dapat menyebabkan korosif pada bangunan/gedung , tanah menjadi tandus dan gatal-gatal jika terkena kulit, sedangkan gasnya sendiri dapat menyebabkan kerusakan pada sistem pernafasan.

Incinerator.
Limbah padat (sampah: kota, rumah sakit, pabrik kertas dll) biasanya dimusnahkan dengan dibakar didalam Incinerator (tungku pembakar). Incinerator pada umumnya beroperasi pada suhu antara 400oC - 600oC (suhu yang sangat ideal bagi pembentukan dioksin), jika suhu operasi incinerator dinaikkan hingga lebih besar dari 800oC maka diperlukan biaya operasional yang besar, karena bahan bakar yang diperlukan juga banyak. Disamping hal tersebut peralatan incineratornya juga akan cepat rusak dan berkarat karena suhu tinggi, jika di dalam incinerator digunakan batu tahan api maka akan mudah pecah atau retak, sehingga biaya perawatan incineratornya akan sangat besar.
Banyak kaum industriawan pembuat incinerator yang membodohi kita, dikatakan incinerator buatannya sanggup membakar sampah pada suhu diatas 800 oC. Tetapi kalau kita amati dengan seksama, ternyata termometer pengukur suhu di tempatkan sedemikian rupa sehingga yang terukur adalah titik api pembakarnya dan bukan suhu gas buang hasil pembakarannya. Tentunya ini sangat ironis, karena pembentukan dioksin ada didalam gas buang hasil pembakarannya terutama di dalam fly-ash (abu terbang), sehingga persyaratan suhu tinggi diatas 800 oC adalah suhu bagi gas buangnya, bukan hanya suhu proses pembakarannya. Suhu tinggi ini harus tetap dapat dipertahankan ketika material baru sampah padat dimasukkan ke dalam incinerator. Biasanya ketika diberikan input baru sampah padat, maka suhu incinerator akan turun drastis, jika terjadi fluktuasi suhu maka incinerator tersebut merupakan penghasil dioksin.
Ada pakar incinerator lain mengatakan, untuk mengurangi pencemaran dioksin pada emisi gas buang dari incenarator ialah dengan menambahkan filter yang modern. Perlu kita ingat bahwa filter khusus untuk dioksin harganya sangat mahal, dan secara berkala harus diganti karena cepat mampat dan jenuh, tentunya hal ini akan menambah biaya operasional incinerator. Tetapi yang menjadi permasalahan pokok adalah, setelah dioksin terkumpul di dalam filter mau dikemanakan ? mengingat dioksin adalah zat no 1 paling beracun di dunia.
Di Jepang saat ini penggunaan incinerator untuk membakar limbah padat mulai dilarang, boleh digunakan tetapi dengan pengawasan ketat sambil menunggu teknologi penggantinya. Menurut berita dari www.asahi.com tertanggal 6-April 1999, bahwa Kementrian kesehatan dan kesejahteraan Jepang telah mensurvei 5886 industri yang mengolah limbahnya dengan incinerator, didapatkan 2046 industri terbukti menghasilkan dioksin, sehingga dari jumlah itu 1393 diperintahkan ditutup secara permanen, sedangkan sisanya 653 ditutup secara bertahap.
Penggunaan incinerator adalah pemborosan, biaya untuk membeli sebuah incinarator berkisar dari beberapa ratus juta hingga beberapa milyar rupiah. Untuk mengoperasikannya jelas diperlukan bahan bakar yang cukup besar, belum lagi biaya perawatan yang luar biasa besarnya karena beroperasi pada suhu tinggi sehingga komponennya cepat rusak dan karatan.(Ingat kasus incinerator sampah di Kodya Surabaya yang hanya berumur beberapa bulan, padahal incineratornya buatan luar negeri yang dibeli dengan harga beberapa milyar dengan uang rakyat).

Solusi.
Mengingat bahaya dan kerugian yang diakibatkan oleh penggunaan incinerator baik secara ekonomi sosial dan dampak perusakan lingkungan, maka perlu dipikirkan dan dikaji lebih mendalam dan seksama tentang penggunaan incinarator untuk pembakaran limbah padat.
Kepada para pembuatan kebijakan atau instansi yang terkait, misalnya Kementrian Lingkungan Hidup agar membuat regulasi yang lebih ketat tentang incenerator jika perlu dilarang digunakan jika telah ditemukan teknologi penggantinya. Incenerator yang telah terlanjur beroperasi harus diawasi secara ketat dan diwajibkan menggunakan sistem pengolah emisi, baik gas buang maupun limbah cairnya, sehingga pencemaran lingkungan dapat ditekan seminimal mungkin.
Dibalik kegagalan sistem incinerator yang telah ada, sebenarnya hal ini merupakan suatu peluang dan sekaligus tantangan bagi para peneliti di Indonesia, untuk saling berlomba dan mengembangkan ide. Sehingga dapat menciptakan suatu sistem pengolah sampah yang inovatif dengan teknologi yang lebih maju, efisien, tidak boros energi, biaya perawatannya murah dan terutama ramah lingkungan.
Harian Kompas memberitakan, Sungai Citarum serta Waduk Saguling dan Cirata di Kabupaten Bandung tercemar logam berat. Dalam daging ikan mas dan nila yang hidup di waduk tersebut ditemukan kandungan merkuri (Hg), tembaga (Cu), dan seng (Zn) dengan kadar yang cukup membahayakan. Logam berat itu diketahui terkonsentrasi di perut, lemak, dan daging ikan.
Temuan ini diikuti dengan imbauan agar masyarakat berhati-hati mengonsumsi ikan air tawar. Maklumlah, akumulasi logam berat di tubuh manusia, dalam jangka panjang, dapat menyebabkan berbagai gangguan kesehatan, seperti penyakit minamata, bibir sumbing, kerusakan susunan saraf, dan cacat pada bayi.
Aparat terkait mengaku bahwa mereka telah berupaya untuk mencegah pencemaran tersebut dengan berbagai cara. Secara garis besar sebenarnya ada dua cara yang bisa dilakukan untuk mencegah dan mengatasi pencemaran perairan oleh logam berat, yaitu cara kimia dan biologi.
Cara kimia, antara lain dengan reaksi chelating, yaitu memberikan senyawa asam yang bisa mengikat logam berat sehingga terbentuk garam dan mengendap. Namun, cara ini mahal dan logam berat masih tetap berada di waduk meski dalam keadaan terikat.
UNTUNGLAH ada penanggulangan secara biologi yang bisa menjadi alternatif terhadap mahalnya penanggulangan dengan cara kimia. Salah satunya adalah dengan memanfaatkan eceng gondok (Eichornia crassipes).
Eceng gondok selama ini lebih dikenal sebagai tanaman gulma alias hama. Padahal, eceng gondok sebenarnya punya kemampuan menyerap logam berat. Kemampuan ini telah diteliti di laboratorium Biokimia, Institut Pertanian Bogor, dengan hasil yang sangat luar biasa.
Penelitian daya serap eceng gondok dilakukan terhadap besi (Fe) tahun 1999 dan timbal (Pb) pada tahun 2000.
Untuk mengukur daya serap eceng gondok terhadap Fe, satu, dua, dan tiga rumpun eceng gondok ditempatkan dalam ember plastik berisi air sumur dengan tambahan 5 ppm FeSO untuk menjaga keasaman.
Konsentrasi Fe diukur pada hari ke-0, 7, 14, dan 21 dengan menggunakan spektrofotometer serapan atom pada panjang gelombang 248,3 nm. Hasilnya terlihat pada Tabel 1.
Dalam tabel itu bisa dilihat adanya penurunan kadar logam Fe secara signifikan pada hari ke-7. Kadar logam Fe menurun 3,177 ppm (65,45 persen) untuk 1 rumpun eceng gondok, 3,511 ppm (71,93 persen) untuk dua rumpun eceng gondok dan 3,686 ppm (74,47 persen) untuk tiga rumpun eceng gondok.
Selanjutnya terlihat, semakin lama semakin banyak logam besi yang diserap. Pada hari ke-28, konsentrasi Fe hampir mendekati 0 untuk perlakuan dua rumpun eceng gondok dan tiga rumpun eceng gondok.
Berdasarkan analisis statistik diketahui bahwa pada hari ke-7, 14, dan 21, eceng gondok memberikan respon nyata dalam menurunkan logam Fe untuk ketiga perlakuan. Namun, pada hari ke-28 eceng gondok yang berjumlah 2-3 rumpun memberikan respon yang tidak berbeda nyata dalam menurunkan logam besi.
PENELITIAN untuk melihat kemampuan eceng gondok menyerap timbal (Pb) dilakukan sebagai berikut. Satu, tiga, lima rumpun eceng gondok ditempatkan di dalam ember plastik berisi air sumur dan larutan Pb(NO3) sebesar 5 ppm. Konsentrasi Pb diukur ketika hari ke-0, 7, 14, 21, dan 28 dengan spektrofotometer serapan atom pada panjang gelombang 217 nm. Hasilnya sebagaimana tertera dalam Tabel 2.
Dari tabel tersebut terlihat, ada penurunan kadar logam Pb secara signifikan pada hari ke-7. Kadar logam Pb menurun 5,167 ppm (96,4 persen) pada perlakuan satu rumpun eceng gondok, menurun 5,204 ppm (98,7 persen) pada perlakuan tiga rumpun, dan menurun 6,019 ppm (99,7 persen) pada perlakuan lima rumpun dari konsentrasi hari ke-0.
Analisis pada hari-hari selanjutnya (hari ke-14, 21, dan 28) menunjukkan perubahan kadar Pb tidak terlalu jauh dengan kadar logam Pb pada hari ke-7.
Eceng gondok terbukti mampu menurunkan kadar polutan Pb dan Fe. Oleh karena itu, diyakini eceng gondok juga mampu menurunkan kadar polutan Hg, Zn, dan Cu yang mencemari Waduk Saguling dan Cirata. Sebab, secara struktur kimia, atom Hg, Zn, dan Cu termasuk dalam golongan logam berat bersama Pb dan Fe.
Rangkaian penelitian seputar kemampuan eceng gondok dalam menyerap logam berat juga telah dilakukan oleh para pakar. Widyanto dan Susilo (1977) melaporkan, dalam waktu 24 jam eceng gondok mampu menyerap logam kadmium (Cd), merkuri (Hg), dan nikel (Ni), masing- masing sebesar 1,35 mg/g, 1,77 mg/g, dan 1,16 mg/g bila logam itu tak bercampur. Eceng gondok juga menyerap Cd 1,23 mg/g, Hg 1,88 mg/g dan Ni 0,35 mg/g berat kering apabila logam-logam itu berada dalam keadaan tercampur dengan logam lain.
Lubis dan Sofyan (1986) menyimpulkan logam chrom (Cr) dapat diserap oleh eceng gondok secara maksimal pada pH 7. Dalam penelitiannya, logam Cr semula berkadar 15 ppm turun hingga 51,85 persen.
SELAIN dapat menyerap logam berat, eceng gondok dilaporkan juga mampu menyerap residu pestisida, contohnya residu 2.4-D dan paraquat.
Pada percobaan Chossi dan Husin (1977) diketahui eceng gondok mampu menyerap residu dari larutan yang mengandung 0,50 ppm 2.4-D sebanyak 0,296 ppm dan 2,00 ppm 2.4-D sebanyak 0,830 ppm dalam waktu 96 jam.
Adapun paraquat yang diserap oleh eceng gondok dari dua kadar, yaitu 0,05 ppm dan 0,10 ppm masing-masing adalah 0,02 ppm dan 0,024 ppm.
Dari hasil penelitian-penelitian itu dapat disimpulkan ternyata eceng gondok tidaklah sia-sia dicipta oleh Tuhan Yang Maha Esa, apalagi sebagai pengganggu manusia. Eceng gondok dapat dinyatakan sebagai pembersih alami perairan waduk atau danau terhadap polutan, baik logam berat maupun pestisida atau yang lain.
MEMANG dilaporkan eceng gondok dapat tumbuh sangat cepat pada danau maupun waduk sehingga dalam waktu yang singkat dapat mengurangi oksigen perairan, mengurangi fitoplankton dan zooplankton serta menyerap air sehingga terjadi proses pendangkalan, bahkan dapat menghambat kapal yang berlayar pada waduk.
Namun, apa arti sebuah danau yang bersih dari eceng gondok jika ternyata air dan ikan yang ada di dalamnya tercemari polutan?
Bahkan, bila suatu danau polutan sangat tinggi dan tidak ada tanaman yang menyerapnya, pencemaran dapat merembes ke air sumur dan air tanah di sekitar danau.
Agar danau bebas polusi namun pertumbuhan eceng gondoknya terkendali, tentu saja diperlukan pengelolaan danau secara benar.
Untuk mengeliminasi gangguan eceng gondok, misalnya, caranya bisa dengan membatasi populasinya. Pembatasan dapat dilakukan dengan membatasi penutupan permukaan waduk oleh eceng gondok tidak lebih dari 50 persen permukaannya.
Akan jauh lebih baik lagi bila pembatasan populasi ini dilakukan dengan melibatkan masyarakat sekitar. Sebab, dahan eceng gondok adalah serat selulosa yang dapat diolah untuk berbagai keperluan, seperti barang kerajinan maupun bahan bakar pembangkit tenaga listrik.
Namun, masyarakat tidak disarankan untuk memberikan eceng gondok sebagai pakan pada ternak karena polutan yang diserapnya bisa terakumulasi dalam dagingnya.
Masyarakat sekitar bisa diberi pelatihan mengenai pengolahan eceng gondok menjadi produk-produk yang bernilai ekonomi, mulai dari anyaman dompet, tas sekolah, topi, bahkan juga mebel.
Pengendalian populasi eceng gondok yang melibatkan masyarakat akan memberikan keuntungan bagi pengelola waduk sekaligus masyarakat di sekitarnya. Pengelola waduk tidak perlu mengeluarkan banyak tenaga untuk “memanen” eceng gondok karena tumbuhan air tersebut akan “dipanen” sendiri oleh masyarakat.
Pengelola cukup membantu masyarakat untuk memasarkan hasil kerajinannya. Adapun masyarakat jelas tidak hanya meningkat pendapatannya, tetapi juga hidup sehat karena terbebas dari ancaman bahan makanan yang tercemar.
________________________________________
Salah Satu Manfaat Enceng Gondok
Ancaman eceng gondok
Apakah eceng gondok adalah ancaman? Itu mungkin masih akan memicu perdebatan, namun setidaknya jenis gulma satu ini memang pernah menjadi ancaman di Danau Kerinci. Bagaimana tidak bila hampir dua pertiga bagian danau sampai tertutup olehnya, dan efeknya terasa langsung oleh masyarakat sekitar dimana tangkapan ikan yang pada tahun 1960 volumenya sampai 780 ton merosot jauh hingga pada tahun 1976 hanya tinggal sepertiganya.
Eichhornia crassipes (dengan nama ilmu pengetahuan mengenalnya) pertama kali ditemukan secara tidak sengaja oleh seorang ilmuan bernama Carl Friedrich Philipp von Martius, seorang ahli botani berkebangsaan Jerman pada tahun 1824 ketika sedang melakukan ekspedisi di Sungai Amazon Brasil. Eceng gondok tumbuh di kolam-kolam dangkal, tanah basah dan rawa, aliran air yang lambat, danau, tempat penampungan air dan sungai.


Kerajaan: Plantae
Divisi: Magnoliophyta
Kelas: Liliopsida
Ordo: Commelinales
Famili: Pontederiaceae
Genus: Eichhornia
Spesies: Eichhornia crassipes
Keberadaannya di Indonesia pada awal mula adalah karena didatangkan untuk jadi hiasan, tapi kemudian berubah jadi hama karena pertumbuhannya yang cepat dalam kerapatan yang sangat padat. Pertumbuhan eceng gondok yang cepat terutama disebabkan oleh air yang mengandung nutrien yang tinggi, terutama yang kaya akan nitrogen, fosfat dan potasium. Tumbuhan ini dapat mentolerir perubahan yang ektrim dari ketinggian air, laju air, dan perubahan ketersediaan nutrien, pH, temperatur dan racun-racun dalam air.
Hidupnya mengapung di air dan kadang-kadang berakar dalam tanah dengan tinggi sekitar 0,4 – 0,8 meter. Eceng gondok tidak mempunyai batang sementara daunnya tunggal dan berbentuk oval dengan bagian ujung dan pangkal yang meruncing, pangkal tangkai daunnya menggelembung sedangkan permukaan daunnya licin dan berwarna hijau.
Bunganya termasuk bunga majemuk, berbentuk bulir dan kelopaknya berbentuk tabung. Bijinya berbentuk bulat dan berwarna hitam. Buahnya kotak berruang tiga dan berwarna hijau. Akarnya merupakan akar serabut.
Tidak diketahui sejak kapan dan bagaimana tumbuhan ini bisa ada di Kerinci, namun sejak kedatangannya banyak sekali akibat-akibat negatif yang ditimbulkan eceng gondok baik secara langsung seperti berkurangnya tangkapan ikan yang disebutkan diatas maupun akibat yang tidak langsung.
Daun-daunnya yang lebar dan serta pertumbuhannya yang cepat meningkatkan evapotranspirasi (penguapan dan hilangnya air melalui daun-daun tanaman) dan ini juga otomatis mengakibatkan menurunnya jumlah cahaya yang masuk kedalam perairan sehingga menyebabkan menurunnya tingkat kelarutan oksigen dalam air (DO: Dissolved Oxygens).
Tumbuhan eceng gondok yang sudah mati sekalipun juga masih akan menimbulkan masalah, karena ia akan turun ke bagian dasar sehingga mempercepat terjadinya proses pendangkalan… ini tentu saja akan mengganggu lalu lintas (transportasi) air.
Dikatakan juga bahwa keberadaan eceng gondok memicu meningkatnya habitat bagi vektor penyakit pada manusia. Selain itu ia juga menurunkan nilai estetika lingkungan perairan, okelah ada sebagian orang yang berpendapat bahwa bunganya yang berwarna ungu terbilang indah… namun bila sudah pernah melihatnya dalam jumlah besar sehingga mampu menutupi 2/3 Danau Kerinci yang seluas 4.200 hektar maka anda akan setuju dengan pendapat ini.
Banyaknya efek negatif inilah yang membuat pemda dan masyarakat kerinci menguji coba berbagai cara untuk memberantasnya, mulai dari pengangkatan hingga penyemprotan dengan herbisida, namun si eceng benar-benar membuat gondok. Selain usaha pemberantasan, dikenalkan juga-juga berbagai bentuk pemanfaatan yang lagi-lagi tidak berpengaruh banyak karena kecepatan pertumbuhannya jauh diatas kemampuan masyarakat mengolah.
Upaya pengendalian eceng gondok secara biologi dimulai tahun 1995 ketika Pemda Kabupaten Kerinci bekerja sama dengan Dinas Perikanan Provinsi Jambi, Puslitbang Limologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) serta Fakultas Perikanan IPB mulai tahun 1995 melakukan program manipulasi biologi menggunakan ikan grass carp/koan (Clenophoryingodon idella) yang berasal dari daratan Cina.
Ikan grass carp memakan akar eceng gondok, sehingga keseimbangan gulma di permukaan air hilang, daunnya menyentuh permukaan air sehingga terjadi dekomposisi dan kemudian dimakan ikan. Ikan koan ini merupakan hewan pemangsa tanaman air (herbivora) dan dianggap bakal mudah beradaptasi di Indonesia karena masih kerabat dekat ikan mas sehingga bisa dikonsumsi, beberapa negara Afrika juga sudah membuktikan keampuhan ikan ini.
Langkah pengamanan tetap dilakukan untuk mencegah masuknya bakteri dan penyakit yang mungkin terbawa, untuk itu bibit ikan dari Cina dikembangbiakkan dulu dalam kolam Balai Penelitian Perikanan Air Tawar di Sukabumi (Jawa Barat). Setelah dinyatakan bersih, barulah ikan tersebut dikirim ke Kerinci. Sebelum betul-betul ditugasi, lima ribu benih ikan ini menjalani uji terakhir di kolam milik Dinas Perikanan Kerinci.
Sukses di tingkat percobaan, pada tahun 1994 disebarlah 48 ribu benih ikan koan ke Danau Kerinci. Diperkirakan, untuk membersihkan danau yang luasnya 100 kali kompleks MPR/DPR dan punya kedalaman 110 meter ini diperlukan 2 juta benih ikan koan. Nyatanya, dengan 48.500 ekor ikan koan saja, di tahun 1997 permukaan danau sudah terlihat bersih dengan eceng gondok tinggal hanya 5 persen saja.
Manfaat eceng gondok
Setiap makhluk punya manfaat, hukum ini juga berlaku pada tumbuhan yang menjadi bahasan kita sekarang. Pemanfaatan eceng gondok yang sudah banyak ditemui misalnya sebagai bahan pembuatan kertas, kompos, biogas, perabotan, kerajinan tangan, maupun sebagai media pertumbuhan bagi jamur merang.
Contoh pemanfaatan tadi biarlah ditunda dulu untuk dibahas dalam sesi tersendiri bila waktunya nanti, karena banyak bahan yang perlu dikumpulkan untuk keperluan tersebut agar lebih valid dan mendalam. Kali kita lanjutkan dulu dengan manfaat alami eceng gondok sebagai tumbuhan.
Pembersih polutan logam berat
Penelitian daya serap eceng gondok sudah dilakukan terhadap besi (Fe) tahun 1999 dimana terbukti penurunan kadar logam Fe menurun 3,177 ppm (65,45 persen) untuk tiap rumpun eceng gondok dalam 7 hari.
Demikian pula pengujian pada timbal (Pb) di tahun 2000 dimana satu rumpun eceng gondok pada hari ke-7 mampu menurunkan kadarnya 5,167 ppm (96,4 persen).
Sebelumnya Widyanto dan Susilo (1977) melaporkan bahwa dalam waktu 24 jam eceng gondok mampu menyerap logam kadmium (Cd), merkuri (Hg), dan nikel (Ni) masing- masing sebesar 1,35 mg/g, 1,77 mg/g, dan 1,16 mg/g bila logam itu tak bercampur. Eceng gondok juga mampu menyerap Cd 1,23 mg/g, Hg 1,88 mg/g dan Ni 0,35 mg/g berat kering apabila logam-logam itu berada dalam keadaan tercampur dengan logam lain.
Lubis dan Sofyan (1986) menyimpulkan logam chrom (Cr) dapat diserap oleh eceng gondok secara maksimal pada pH 7. Dalam penelitiannya, logam Cr semula berkadar 15 ppm turun hingga 51,85 persen. Selain logam berat, eceng gondok dilaporkan juga mampu menyerap residu pestisida.
Penyerap bahan organik
Kecepatan penyerapan zat pencemar dari dalam air limbah oleh eceng gondok dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya komposisi dan kadar zat yang terkandung dalam air limbah, kerapatan eceng gondok, dan waktu tinggal eceng gondok dalam air limbah.
Dari hasil percobaan laboratorium diperoleh simpulan, kecepatan penyerapan Nitrogen (N2) yang maksimal dipengaruhi oleh kerapatan tanaman, sedangkan kecepatan penyerapan Phosphat (P) tidak saja dipengaruhi oleh kandungan Phosphat di dalam air dan kerapatan eceng gondok, tetapi dipengaruhi pula oleh kadar Posphat dalam jaringan. Faktor penunjuk lainya yang mempengaruhi penyerapan senyawa Nitrogen dan Phosphat adalah waktu detensi zat tersebut di dalam limbah yang ditumbuhi oleh eceng gondok.
Ada pun penurunan terbesar kadar Ammonium (NH4+) dan Nitrat (NO3) pada percobaan dengan kadar tertinggi diperoleh setelah 35 hari. Penyerapan kadar Phosphat dalam bentuk OrthoFosfat (PO43-) adalah sekira 80,150, dan 250 mg dari masing-masing perlakuan yang mengandung 50 mg/I, 100 mg/I, dan 250 mg/l.
Besarnya kandungan suatu zat di dalam air limbah akan memengaruhi peningkatan biomassa tanaman. Beberapa penelitian menyatakan bahwa kandungan unsur hara yang berlebihan di dalam air limbah dapat menimbulkan keracunan organ eceng gondok, contohnya gejala keracunan bila kadar Nitrogen di dalam media mencapai 6,525 mg/l.
Eceng gondok
Eceng gondok

Eceng gondok (E. crassipes)
Klasifikasi ilmiah

Kerajaan: Plantae

Divisi: Magnoliophyta

Kelas: Liliopsida

Ordo: Commelinales

Famili: Pontederiaceae

Genus: Eichhornia
Kunth

Spesies: E. crassipes

Nama binomial

Eichhornia crassipes
(Mart.) Solms

Eceng gondok atau enceng gondok (Latin:Eichhornia crassipes) adalah salah satu jenis tumbuhan air mengapung. Selain dikenal dengan nama eceng gondok, di beberapa daerah di Indonesia, eceng gondok mempunyai nama lain seperti di daerah Palembang dikenal dengan nama Kelipuk, di Lampung dikenal dengan nama Ringgak, di Dayak dikenal dengan nama Ilung-ilung, di Manado dikenal dengan nama Tumpe.[1] Eceng gondok pertama kali ditemukan secara tidak sengaja oleh seorang ilmuan bernama Carl Friedrich Philipp von Martius, seorang ahli botani berkebangsaan Jerman pada tahun 1824 ketika sedang melakukan ekspedisi di Sungai Amazon Brasil.[2] Eceng gondok memiliki kecepatan tumbuh yang tinggi sehingga tumbuhan ini dianggap sebagai gulma yang dapat merusak lingkungan perairan. Eceng gondok dengan mudah menyebar melalui saluran air ke badan air lainnya.

Eceng gondok sedang berbunga
Eceng gondok hidup mengapung di air dan kadang-kadang berakar dalam tanah. Tingginya sekitar 0,4 - 0,8 meter. Tidak mempunyai batang. Daunnya tunggal dan berbentuk oval. Ujung dan pangkalnya meruncing, pangkal tangkai daun menggelembung. Permukaan daunnya licin dan berwarna hijau. Bunganya termasuk bunga majemuk, berbentuk bulir, kelopaknya berbentuk tabung. Bijinya berbentuk bulat dan berwarna hitam. Buahnya kotak beruang tiga dan berwarna hijau. Akarnya merupakan akar serabut.[1]
[sunting] Habitat
Eceng gondok tumbuh di kolam-kolam dangkal, tanah basah dan rawa, aliran air yang lambat, danau, tempat penampungan air dan sungai. Tumbuhan ini dapat mentolerir perubahan yang ektrim dari ketinggian air, laju air, dan perubahan ketersediaan nutrien, pH, temperatur dan racun-racun dalam air.[3] Pertumbuhan eceng gondok yang cepat terutama disebabkan oleh air yang mengandung nutrien yang tinggi, terutama yang kaya akan nitrogen, fosfat dan potasium (Laporan FAO). Kandungan garam dapat menghambat pertumbuhan eceng gondok seperti yang terjadi pada danau-danau di daerah pantai Afrika Barat, di mana eceng gondok akan bertambah sepanjang musim hujan dan berkurang saat kandungan garam naik pada musim kemarau.[3]
Dampak Negatif

Kolam yang dipenuhi eceng gondok yang sedang berbunga
Akibat-akibat negatif yang ditimbulkan eceng gondok antara lain:
Meningkatnya evapotranspirasi (penguapan dan hilangnya air melalui daun-daun tanaman), karena daun-daunnya yang lebar dan serta pertumbuhannya yang cepat.
Menurunnya jumlah cahaya yang masuk kedalam perairan sehingga menyebabkan menurunnya tingkat kelarutan oksigen dalam air (DO: Dissolved Oxygens).
Tumbuhan eceng gondok yang sudah mati akan turun ke dasar perairan sehingga mempercepat terjadinya proses pendangkalan.
Mengganggu lalu lintas (transportasi) air, khususnya bagi masyarakat yang kehidupannya masih tergantung dari sungai seperti di pedalaman Kalimantan dan beberapa daerah lainnya.
Meningkatnya habitat bagi vektor penyakit pada manusia.
Menurunkan nilai estetika lingkungan perairan.



Penanggulangan
Karena eceng gondok dianggap sebagai gulma yang mengganggu maka berbagai cara dilakukan untuk menanggulanginya. Tindakan-tindakan yang dilakukan untuk mengatasinya antara lain:
Menggunakan herbisida
Mengangkat eceng gondok tersebut secara langsung dari lingkungan perairan
Menggunakan predator (hewan sebagai pemakan eceng gondok), salah satunya adalah dengan menggunakan ikan grass carp (Ctenopharyngodon idella) atau ikan koan. Ikan grass carp memakan akar eceng gondok, sehingga keseimbangan gulma di permukaan air hilang, daunnya menyentuh permukaan air sehingga terjadi dekomposisi dan kemudian dimakan ikan. Cara ini pernah dilakukan di danau Kerinci dan berhasil mengatasi eceng gondok di danau tersebut.[4]
Memanfaatkan eceng gondok tersebut, misalnya sebagai bahan pembuatan kertas, kompos, biogas[5], perabotan[6], kerajinan tangan, sebagai media pertumbuhan bagi jamur merang, dsb.
Pembersih Polutan Logam Berat
Walaupun eceng gondok dianggap sebagai gulma di perairan, tetapi sebenarnya ia berperan dalam menangkap polutan logam berat. Rangkaian penelitian seputar kemampuan eceng gondok oleh peneliti Indonesia antara lain oleh Widyanto dan Susilo (1977) yang melaporkan dalam waktu 24 jam eceng gondok mampu menyerap logam kadmium (Cd), merkuri (Hg), dan nikel (Ni), masing- masing sebesar 1,35 mg/g, 1,77 mg/g, dan 1,16 mg/g bila logam itu tak bercampur. Eceng gondok juga menyerap Cd 1,23 mg/g, Hg 1,88 mg/g dan Ni 0,35 mg/g berat kering apabila logam-logam itu berada dalam keadaan tercampur dengan logam lain. Lubis dan Sofyan (1986) menyimpulkan logam chrom (Cr) dapat diserap oleh eceng gondok secara maksimal pada pH 7. Dalam penelitiannya, logam Cr semula berkadar 15 ppm turun hingga 51,85 persen.[7]
Selain dapat menyerap logam berat, eceng gondok dilaporkan juga mampu menyerap residu pestisida.
Referensi
1. ^ a b Eceng Gondok, tumbuhan pengganggu yang bermanfaat. e-smartschool.com.
2. ^ (28 September 2003). Eceng Gondok, Gulma Sahabat Manusia?. U. Sirojul Falah. Harian Pikiran Rakyat.
3. ^ a b (4 Agustus 2006). Eichhornia crassipes (aquatic plant). Invasive Species Specialist Group (ISSG). Global Invasive Species Database.
4. ^ (28 Maret 2001). Mengendalikan Eceng Gondok Danau Kerinci. Nasrul Thahar. Harian Kompas.
5. ^ (30 Juni 2007). Eceng Gondok Untuk Bahan Bakar Biogas. Harian Kompas.
6. ^ (15 Januari 2007). Ngadiman Berbagi Ilmu Eceng Gondok. Stefanus Osa Triyatna. Harian Kompas.
7. ^ (2 Juli 2003). Eceng Gondok Pembersih Polutan Logam Berat. Dr Hasim DEA. Harian Kompas.
AGAR ECENG GONDOK TIDAK BIKIN GONDOK
Pendahuluan
Eceng gondok yang memiliki nama ilmiah Eichornia crassipes merupakan tumbuhan air dan lebih sering dianggap sebagai tumbuhan pengganggu perairan. Eceng gondok memiliki tingkat pertumbuhan yang sangat cepat. Dalam tempo 3–4 bulan saja, eceng gondok mampu menutupi lebih dar 70% permukaan danau. Cepatnya pertumbuhan eceng gondok dan tingginya daya tahan hidup menjadikan tumbuhan ini sangat sulit diberantas. Pada beberapa negara, pemberantasan eceng gondok secara mekanik, kimia dan biologi tidak pernah memberikan hasil yang optimal. Ada juga hasil penelitian yang menunjukkan bahwa eceng gondok berpotensi menghilangkan air permukaan sampai 4 kali lipat jika dibandingkan dengan permukaan terbuka. Pertumbuhan populasi eceng gondok yang tidak terkendali menyebabkan pendangkalan ekosistem perairan dan tertutupnya sungai serta danau.
Selain sisi gelapnya, tumbuhan yang aslinya berasal dari Brazil ini juga ternyata memiliki sisi terangnya. Beberapa penelitian menunjukkan, eceng gondok dapat menetralisir logam berat yang terkandung dalam air. Pada beberapa daerah, eceng gondok bermanfaat sebagai bahan baku kerajinan tangan. Karena kandungan seratnya yang tinggi, eceng gondok bahkan dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku industri. Di Thailand, eceng gondok sudah menjadi komoditi petani, dibuat plot-plot seperti pencetakan sawah-sawah di Jawa. Di negara gajah putih ini, eceng gondok juga telah menjadi bahan baku industri kerajinan rakyat.

Pengolah Limbah Domestik
Dari berbagai hasil penelitian, eceng gondok terbukti mampu menyerap zat kimia baik yang berasal dari limbah industri maupun rumah tangga (domestik). Karena kemampuannya itu, eceng gondok dapat dimanfaatkan untuk mengolah limbah kedua sumber tersebut (industri dan rumah tangga) secara biologi.
Salah satu gambaran untuk mengetahui kemampuan eceng gondok dalam mengelola limbah domestik adalah hasil penelitian Djaenudin (2006). Pada penelitian ini, air yang digunakan berasal dari pembuangan air limbah domestik Desa Tlogomas, Kotamadya Malang, Provinsi Jawa Timur. Air limbah ini ditambung dalam sebuah reaktor dengan volume 58,8 meter kubik, ketebalan dinding dan alas berbeton mencapai 20 cm. Reaktor ini dilengkapi dengan inlet (tempat masuknya air) dan inlet (tempat keluarnya air). Bagian dasar reaktor diisi dengan kerikil (berdiameter antara 3-4 mm) hingga terisi tiga perempat dari kedalaman reaktor. Eceng gondok ditanam seluas setengahnya dari luas permukaan reaktor. Lama penyimapanan air dalam reaktor adalah 3,17 hari.
Penelitian tersebut memperoleh hasil sebagai berikut: nilai TSS (total padatan terlarut) outlet rata-rata 180 mg/l, sudah di bawah nilai baku mutu yang dipersyaratkan yaitu 200 mg/l. Nilai rata-rata efisiensi pengolahan TSS 31,7. Nilai Total-P outlet rata-rata 0,8 mg/l, masih di atas nilai baku mutu yang dipersyaratkan yaitu 0,1 mg/l. Nilai rata-rata efisiensi pengolahan Total-P 42,64. Nilai Total-N outlet rata-rata 32,5 mg/l, masih di atas nilai baku mutu yang dipersyaratkan yaitu 20 mg/l. Nilai rata-rata efisiensi pengolahan Total-N 52,13 Nilai COD outlet rata-rata 225 mg/l, masih berada di atas nilai baku mutu yang dipersyaratkan yaitu 100 mg/l. Nilai rata-rata efisiensi pengolahan COD 42,1. Nilai pH air limbah tidak mengalami perubahan secara berarti yaitu berkisar antar nilai 6 dan 8. Penggantian tanaman sebaiknya dilakukan sebulan sekali. Meskipun hampir sebagian besar parameter yang diamati masih berada di atas baku mutu yang dipersyaratkan, eceng gondok telah mampu mengurangi kandungan zat-zat pencemar dalam perairan. Dengan demikian, untuk mengembalikan kualitas air, pengolahan secara biologi ini harus dilakukan secara berulang.

Penyerap Logam Berat
Dewasa ini, pencemaran logam berat merupakan salah satu permasalahan yang banyak dihadapi oleh ekosistem perairan. Umumnya, upaya penanganan pencemaran logam berat memerlukan biaya yang cukup mahal. Namun, eceng gondok menawarkan pemecahan masalah tersebut dengan biaya yang cukup murah. Beberapa logam berat yang sering mencemari ekosistem perairan diantaranya Fe, Mg, Mn, Pb, dan Ni.
Menurut Widyanto dan Suselo (1977), kemampuan eceng gondok dalam menyerap logam berat tergantung pada beberapa hal, seperti jenis logam berat dan umur gulma. Penyerapan logam berat per satuan berat kering tersebut lebih tinggi pada umur muda daripada umur tua. Logam berat beracun yang dapat diserap oleh eceng gondok terhadap berat keringnya adalah Cd (1,35 mg/g), Hg (1,77 mg/g), dan Ni (1,16 mg/g) dengan larutan yang masing-masing mengandung logam berat sebesar 3 ppm. Muramoto dan Oki (1983) mengungkapkan, eceng gondok mampu menyerap logam berat Cd sebesar 1,24 mg/g; Pb sebesar 1,93 mg/g; dan Hg sebesar 0,98 mg/g terhadap berat keringnya yang ditumbuhkan dalam media yang mengandung logam berat 1 ppm. Sementara itu, hasil percobaan Chigbo et al. (1980) menunjukkan, Hg dan As yang mampu diserap oleh logam berat masing-masing sebesar 2,23 dan 3,28 mg/g dari berat keringnya.
Berdasarkan bagian tanamannya, logam berat yang terserap lebih banyak berkumpul di akar daripada di bagian lainnya. Misalnya hasil penelitian Jana dan Das (2003) untuk penyerapan Cd. Pada bagian akar, konsentrasi Cd berkisar 125 – 152 mikrogram per gram berat kering akar, dan pada bagian daun sebesar 21 – 63 mikrogram per gram berat kering daun.
Selanjutnya, eceng gondok juga ternyata mampu menyerap uranium yang terlarut dalam perairan. Menurut Yatim (1991), uranium yang diserap dan terakumulasi pada akar sekitar 40 – 60%, dan dapat terlepas pada pembilasan. Hasil penelitian selanjutnya menunjukkan, tingkat penyerapan uranium oleh eceng gondok dipengaruhi pH, kadar nutrisi larutan dan berat awal eceng gondok. Pada pH yang lebih rendah, penyerapan uranium oleh eceng gondok lebih banyak karena pada kondisi pH ini uranium terdapat dalam bentuk ion uranil yang stabil dan mempunyai ukuran ion yang lebih kecil.
Uranium juga lebih banyak diserap oleh eceng gondok yang memiliki massa lebih besar. Ini karena eceng gondok yang lebih berat mempunyai permukaan akar yang lebih luas. Akan tetapi, pada larutan nutrisi yang lebih pekat, penyerapan uranium oleh eceng gondok cenderung berkurang. Ini karena adanya peningkatan kompetisi antara penyerapan uranium dengan penyerapan unsur nutrisi oleh tanaman. Pada larutan Hoagland 10% dengan pH 5 dan kandungan uranium 8 – 12 ppm, kapisitas penyerapan uranium dalam kondisi maksimal, yakni berkisar antara 500 - 600 µg per gram berat kering eceng gondok setelah 10 - 12 hari. Pada kondisi ini, laju pertumbuhan eceng gondok sekitar 3% berat kering per hari. Pada larutan limbah, kapasitas eceng gondok menyerap uranium sekitar 200 µg per gram berat kering tanaman setelah 8 hari laju, dan laju pertumbuhannya mencapai 2 % berat kering per hari.
Pada populasi 1 ha, kapasitas eceng gondok menyerap uranium (dengan tetap memperhatikan pertumbuhannya) sekitar 2,16 kg (pada larutan Hoagland) dan 0,98 kg (pada larutan limbah). Dengan memperhitungkan fraksi uranium yang terbilas, pengurangan uranium dari larutan Hoagland dan limbah masing-masing sekitar 3, 16 dan 1,76 kg. Dengan demikian, eceng gondok mempunyai potensi dimanfaatkan sebagai kolektor uranium.

Bahan Baku Pulp dan Kertas
Di saat sedang menurunnya pasokan kayu tropis dan meningkatnya kerusakan hutan, eceng gondok dapat dijadikan sebagai penyedia bahan baku pulp yang bernilai ekonomis. Menurut Patt (1992), proses pulping kimia masih dianggap menguntungkan secara ekonomis apabila nilai rendemen tersaring di atas 40% dan bilangan Kappa dibawah 25. Hasil penelitian Supriyanto dan Muladi (1999) menunjukkan, rendemen tersaring pulp eceng gondok sekitar 44,28% dan bilangan Kappa sebesar 16,55. Sementara itu, sifat fisika dan mekanika kertas yang dihasilkan pada nilai interpolasi derajat giling 40ºSR meliputi: kerapatan kertas sebesar 0,993%, kekuatan tarik sebesar 4060 m, kekuatan retak sebesar 338 kPa dan kekuatan sobek sebesar 346 mN. Berdasarkan data tersebut, maka kualitas pulp dan kertas dari eceng gondok menurut standar tergolong dalam kelas kualita II. Dengan demikian, eceng gondok memiliki prospek sebagai bahan baku kertas yang bernilai ekonomis cukup tinggi.

Bahan Baku Pupuk Organik
Dalam industri pupuk alternatif, eceng gondok juga dapat dijadikan sebagai bahan baku pupuk organik. Ini karena mengandung N, P, K, dan bahan organik yang cukup tinggi. Daerah yang sudah mengembangkan pabrik pupuk berbahanbaku eceng gondok adalah Kabupaten Lamongan. Ketika pertama kali berproduksi ditahun 2001 pabrik pupuk eceng gondok mempunyai kapasitas produksi 5-7 ton sehari. Kini setelah ada penambahan mesin baru maka kapasitas produksi ditingkatkan hingga mencapai 15 ton sehari. Pupuk organik yang dihasilkan dari pabrik ini diberi nama Pupuk Maharani.
Untuk mendapatkan pupuk organik yang berstandar internasional, pupuk ini diberi campuran bahan lainnya. Bahan tersebut adalah kotoran binatang (ayam, sapi atau lembu) serta ramuan enrichment yang diperoleh dari pengkomposan. Enrichment adalah sebuah formula khusus agar kadar standar organiknya tercapai. Berdasarkan hasil uji laboratorium, pupuk ini memiliki kandungan unsur hara N sebesar 1,86%; P205 sebesar 1,2%; K20 sebesar 0,7%; C/N ratio sebesar 6,18%; bahan organik seebsar 25,16% serta C organik:19,81. Dengan kandungan seperti ini, pupuk dari eceng gondok mampu menggantikan pupuk anorganik,dan dapat mengurangi penggunaan bahan kimia hingga 50% dari dosisnya. Sebagai bahan perbandingan, Winarno (1993) menyebutkan, eceng gondok dalam keadaan segar memiliki komposisi bahan organic 36,59%, C organic 21,23% N total 0,28%, P total 0,0011% dan K total 0,016%.
Penggunaan pupuk organik berbahan baku eceng gondok memberikan hasil yang sangat menggembirakan. Anakan (percabangan) dari tiap batang lebih banyak dibandingkan awalnya. Dengan tambahan pupuk Maharani, diperoleh 18-20 anakan padi. Sedangkan dengan urea, hanya diperoleh 14-16 anakan padi. Tanaman yang diberi tambahan pupuk organik juga memiliki warna daun merata hijau. Sementara itu, tanaman yang diberi urea, awalnya memiliki daun berwarna hijau tapi lama kelamaan kekuningan. Tidak hanya itu, tanaman padi yang diberi tambahan pupuk organik ini memiliki batang yang lebih kuat dari tiupan angin dan tampilan fisiknya lebih tegak.
Hasil yang memuaskan tidak hanya berupa tampilan fisik, melainkan juga berupa produksi dan biaya yang dikeluarkan. Penggunaan pupuk organik telah meningkatkan produksi gabah rata-rata 500 kg tiap hektarnya. Dari segi biaya, penggunaan pupuk organik menghasilkan efisiensi pupuk Rp. 265.000/ha/panen. Sebab, dengan menggunakan pupuk anorganik, rata-rata biaya yang dibutuhkan sebesar Rp 900.000 per hektar. Sedangkan dengan tambahan pupuk organik, biaya yang dibutuhkan sebesar Rp 635.000 per hektar. Komposisi pemberian pupuk tiap 1 hektare sawah padi terdiri atas 500 kg pupuk organik dan 150 kg urea, tanpa tambahan KCL (Siagian, 2006).

Sumber Pakan Ternak dan Ikan
Sebagaimana tanaman lainnya, eceng gondok dapat dijadikan pakan ternak. Karena tingginya kandungan serat kasar, eceng gondok harus diolah terlebih dahulu. Salah satu teknik pengolahannya adalah melalui teknologi fermentasi. Pada proses ini, eceng gondok diolah menjadi tepung, kemudian difermentasi secara padat dengan menggunakan campuran mineral dan mikroba Trichoderma harzianum yang dilakukan selama 4 hari pada suhu ruang.
Proses fermentasi ini mampu meningkatkan nilai gizi yang terkandung dalam eceng gondok. Protein kasar meningkat sebesar 61,81% (6,31 ke 10,21%) dan serat kasar turun 18% (dari 26,61 ke 21,82%). Pada saat dikonsumsikan pada ayam, eceng gondok fermentasi tidak menimbulkan pengaruh yang berbeda secara nyata terhadap konsumsi, bobot hidup, konversi pakan, persentase karkas, lemak abdomen dan bobot organ pencernaan (proventrikulus dan ventrikulus), meskipun terdapat kecendrungan penurunan nilai gizi pada peningkatan produk fermentasi eceng gondok. Karena itu, eceng gondok fermentasi dapat dicampurkan sampai tingkat 15% dalam ransum ayam pedaging (Mahmilia, 2005).
Pada penelitian lain, daun eceng gondok dapat dimanfaatkan sebagai pakan pelet tepung untuk budidaya ikan, meski tidak sebaik pelet komersil. Ikan yang digunakan pada penelitian ini adalah jenis nila. Pemeliharaan dilakukan selama 8 minggu dengan perlakuan pellet bertepung daun eceng gondok 10%; 20%; 30%; dan pembanding (tanpa campuran pelet tepung). Hasil penelitian menunjukan bahwa pemberian pellet betepung daun eceng gondok 10% memberikan pengaruh terbaik bagi pertumbuhan nisbi (193,25%), nilai efisiensi pakan (40,31%). Akan tetapi, pemberian pellet komersil sebagai pembanding masih lebih baik dibandingkan dengan pemberian pellet bertepung daun eceng gondok, baik pertumbuhan nisbi maupun nilai efisiensi pakan (Timburas, 2000).

Bahan Baku Kerajinan Tangan
Di tangan orang-orang kreatif, membludaknya populasi eceng gondok bukanlah sebuah musibah melainkan sebuah anugrah. Di tangan orang-orang kreatif inilah, eceng gondok dapat disulap menjadi benda-benda yang sangat menarik dan berdayaguna, seperti sandal jepit, tas cantik, kursi, dan lain-lain.
Pemandangan tangan-tangan kreatif dalam mengubah eceng gondok bisa disaksikan di Dusun Pengaron, Desa Pengumbulandi Tikungan, Kabupaten Lamongan. Menjelang matahari terbenam, di pinggir jendela sebagian besar rumah di sana, jari-jari lentik perempuan muda dengan lincah menganyam helai demi helai serat eceng gondok. Dengan ulet dan terampil, mereka menyulap helayan eceng gondok kering menjadi sebuah tas. Dalam sehari, rata-rata setiap orangnya mampu menyelesaikan lima tas anyaman. Setiap satu tas ia mendapat upah Rp 2.250 hingga 4.000. Dengan demikian, penghasilannya mencapai Rp 500.000 per bulannya.
Tas-tas yang sudah tersebut ditampung pada seorang pengusaha. Dalam sebulan, tas yang terkumpul bisa mencapai 1.500-2.000 tas. Kemudian, tas-tas tersebut dikirim ke department store terkenal seperti, Sarinah Thamrin di Jakarta, berbagai art shop di Bali dan Surabaya. Tidak hanya itu, tas-tas itu juga sudah diekspor ke beberapa negara seperti Taiwan dan Malaysia. Setiap bulannya, sekitar 1.600 tas ke dua negara itu dan umumnya dijual dengan harga minimal Rp 15.000.
Tidak diragukan lagi, eceng gondok berpotensi meningkatkan pendapatan masyarakat. Tidak hanya pengrajin, tambahan pendapatan ini juga dapat dirasakan oleh para pengumpul eceng gondok dari rawa-rawa, sungai, atau waduk. Misalnya di Kabupaten Simalungun, eceng gondok basah dihargai Rp 200 per kilogram dan eceng gondok kering Rp 6.000 per kilogram (Malau, 2006). Selain dijadikan tas, di Simalungun ini, eceng gondok dijadikan juga sebagai sandal, baki, topi, dan barang-barang lainnya, kemudian dia jual di hotel-hotel dan lokasi pariwisata Prapat.
Kisah sukses pengrajin eceng gondok lainnya yang patut ditiru adalah bernama Lita. Dia seorang pengusaha wanita dari Surabaya. Karena berkreatif memanfaatkan produk yang ramah lingkungan itu, pada tahun 2000, dia pernah mendapat hadiah kalpataru lingkungan. Pada awal usahanya, dia hanya membuat aksesoris rumah seperti, tempat koran, tempat pinsil, tempat sampah, tas, tempat tisu, dan souvenir kecil lainya. Pada perkembangan berikutnya, wanita yang telah memiliki 150 karyawan ini mulai mengembangkan bentuk meubel seperti sofa, meja, dan produk lainnya. Karena bentuknya yang unik, produk-produk tersebut banyak diminati dan diekspor ke Jepang, Italia, Kuala Lumpur, Belanda, dan Eropa dengan harga yang cukup tinggi per unitnya. Sofa, misalnya, dapat dihargai Rp 4 – 15 juta per unitnya.

Kesimpulan
Jelas sudah, enceng gondok memiliki banyak manfaat, baik manfaat ekologi dan manfaat ekonomi. Dari sisi ekologi, eceng gondok mampu meningkatkan kualitas air yang tercemar. Berkat eceng gondok, logam berat dan polutan lainnya bisa diserap dari ekosistem perairan. Dari sisi ekonomi, eceng gondok mampu memberikan pendapatan tambahan bagi masyarakat. Di tangan orang-orang kreatif, tumbuhan ini bisa berubah menjadi barang-barang yang bermanfaat (seperti sandal, tas, bahkan sofa) sehingga bernilai ekonomi tinggi. Akhirulkata, eceng gondok bukanlah musibah, melainkan anugrah.

Helmut Simamora
BLHPP Kabupaten Samosir

LIMBAH

Limbah
Limbah adalah buangan yang dihasilkan dari suatu proses produksi baik industri maupun domestik (rumah tangga, yang lebih dikenal sebagai sampah), yang kehadirannya pada suatu saat dan tempat tertentu tidak dikehendaki lingkungan karena tidak memiliki nilai ekonomis. Bila ditinjau secara kimiawi, limbah ini terdiri dari bahan kimia organik dan anorganik. Dengan konsentrasi dan kuantitas tertentu, kehadiran limbah dapat berdampak negatif terhadap lingkungan terutama bagi kesehatan manusia, sehingga perlu dilakukan penanganan terhadap limbah. Tingkat bahaya keracunan yang ditimbulkan oleh limbah tergantung pada jenis dan karakteristik limbah.
Karakteristik limbah:
1. Berukuran mikro
2. Dinamis
3. Berdampak luas (penyebarannya)
4. Berdampak jangka panjang (antar generasi)
Faktor yang mempengaruhi kualitas limbah adalah:
1. Volume limbah
2. Kandungan bahan pencemar
3. Frekuensi pembuangan limbah
Berdasarkan karakteristiknya, limbah industri dapat digolongkan menjadi 4 bagian:
1. Limbah cair
2. Limbah padat
3. Limbah gas dan partikel
4. Limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun)
Untuk mengatasi limbah ini diperlukan pengolahan dan penanganan limbah. Pada dasarnya pengolahan limbah ini dapat dibedakan menjadi:
1. pengolahan menurut tingkatan perlakuan
2. pengolahan menurut karakteristik limbah

Pemahaman Tentang CSR

CSR (Corporate Social Responsibility) Perusahaan. (sumber : SIB.28-02-2009. Toba Pulp terima “ Indonesian CSR Awards 2008”).

CSR (Corporate Social Responsibility) Perusahaan.
CSR adalah :
1. Bukti Pengakuan dan Penghargaan terhadap berbagai “aksi peduli-“nya kepada masyarakat di sekelilingnya.
2. Memberikan sumbangan pada pembangunan sosial, ekonomi dan lingkungan secara berkelanjutan.
3. Memberikan penghargaan, motivasi, keteladanan dan umpan balik bagi perusahaan dan masyarakat.
4. Meningkatkan kemampuan masyarakat melayani kebutuhan hidupnya.
5. Tanggung jawab sosial sosial perusahaan terhadap konsumen, karyawan, pemegang saham, komunitas dan lingkungan dalam segala aspek operasional perusahaan.
6. Tanggung jawab sosial berhubungan erat dengan pembangunan dan kelanjutan, dimana ada argumentasi bahwa suatu perusahaan dalam melaksanakan aktifitasnya harus mendasarkan keputusan-keputusannya tidak semata hanya faktor keuangan belaka, seperti halnya keuntungan atau deviden melainkan juga harus berdasarkan konsekwensi sosial dan lingkungan untuk saat ini maupun untuk jangka panjang.

Klasifikasi CSR :
1. Kategori Ekonomi. Untuk sistem pertanian terpadu berbasis peternakan (IFS- Integrated Farming System).
2. Kategori Sosial. Untuk Program Pendidikan Sekolah.
3. Kategori Lingkungan. Untuk Program Efisiensi energi melalui pengolahan limbah.

5 obyek penilaian untuk CSR perusahaan :
1. Kebijakan perusahaan plus komitmen pimpinan.
2. Perencanaan program.
3. Pelaksanaan program.
4. Monitoring dan evaluasi.
5. Dokumen pelengkap.

CSR dilakukan berdasarkan pada aktivitas kepedulian perusahaan terhadap masyarakat dilingkungan kerjanya, dengan mengacu pada :
1. Visi dan Misi perusahaan yang berprinsip bahwa perusahaan maju, masyarakat juga ikut maju dan sejahtera.
2. Tepat Lokasi.
3. Program.
4. Sumberdaya manusia.

Prinsip Harmonisasi 3 P yaitu :
1. Planet, berarti lingkungan.
2. People, berarti sumberdaya manusia.
3. Profit, berarti keuntungan.


Visi dan Misi CSR
1. Ikut meningkatkan kualitas hidup masyarakat di lingkungan operasionalnya.
2. Adanya dukungan semua stakeholder (pemangku kepentingan) baik berupa kritikan maupun masukan.
3. Mau membuka diri untuk menuju kesempurnaan.

Kegiatan-kegiatan dalam CSR
1. Pemberian beasiswa.
2. Pelatihan ketrampilan teknik.
3. Pelayanan kesehatan gratis.
4. Kemitraan-usaha.
5. Penghijauan.
6. Bentuk bantuan sosial lainnya.

Pohon mahoni mempunyai daya serap CO2 sebesar 295,73 kg/pohon/tahun (SIB 28-02-2009:5).

Andi F dalam Harian Reportase (03-03-2009:5) bahwa tanggung jawab sosial adalah :
1. Suatu konsep yang bermaterialkan tanggung jawab sosial dan lingkungan oleh perusahaan dan lingkungan oleh perusahaan kepada masyarakat luas.
2. Bagaimana cara perusahaan mengelola proses bisnisnya untuk menghasilkan segala hal yang positif yang berpengaruh terhadap lingkungan.

Undang-undang Perseroan Terbatas (PT) No. 40 tahun 2007 pasal 47 tentang Tanggungjawab sosial dan lingkungan.

Pengenalan AMDAL

Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan di Indonesia. AMDAL ini dibuat saat perencanaan suatu proyek yang diperkirakan akan memberikan pengaruh terhadap lingkungan hidup di sekitarnya. Yang dimaksud lingkungan hidup di sini adalah aspek fisik-kimia, ekologi, sosial-ekonomi, sosial-budaya, dan kesehatan masyarakat. Dasar hukum AMDAL adalah Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1999 tentang "Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup".
Dokumen AMDAL terdiri dari :
Dokumen Kerangka Acuan Analisis Dampak Lingkungan Hidup (KA-ANDAL)
Dokumen Analisis Dampak Lingkungan Hidup (ANDAL)
Dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup (RKL)
Dokumen Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup (RPL)
AMDAL digunakan untuk:
Bahan bagi perencanaan pembangunan wilayah
Membantu proses pengambilan keputusan tentang kelayakan lingkungan hidup dari rencana usaha dan/atau kegiatan
Memberi masukan untuk penyusunan disain rinci teknis dari rencana usaha dan/atau kegiatan
Memberi masukan untuk penyusunan rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup
Memberi informasi bagi masyarakat atas dampak yang ditimbulkan dari suatu rencana usaha dan atau kegiatan
Pihak-pihak yang terlibat dalam proses AMDAL adalah:
Komisi Penilai AMDAL, komisi yang bertugas menilai dokumen AMDAL
Pemrakarsa, orang atau badan hukum yang bertanggungjawab atas suatu rencana usaha dan/atau kegiatan yang akan dilaksanakan, dan
masyarakat yang berkepentingan, masyarakat yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam proses AMDAL.
Dalam pelaksanaannya, terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu:
Penentuan kriteria wajib AMDAL, saat ini, Indonesia menggunakan/menerapkan penapisan 1 langkah dengan menggunakan daftar kegiatan wajib AMDAL (one step scoping by pre request list). Daftar kegiatan wajib AMDAL dapat dilihat di Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 11 Tahun 2006.
Apabila kegiatan tidak tercantum dalam peraturan tersebut, maka wajib menyusun UKL-UPL, sesuai dengan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 86 Tahun 2002.
Penyusunan AMDAL menggunakan Pedoman Penyusunan AMDAL sesuai dengan Permen LH NO. 08/2006.
Kewenangan Penilaian didasarkan oleh Permen LH no. 05/2008.

Kawasan Danau Toba di Kabupaten Samosir

PROFIL DANAU INDONESIA

PROFIL DANAU TOBA

I. PENDAHULUAN

Kabupaten Samosir terletak pada koordinat 20 21’ - 20 49’ 48’’ LU dan 980 24’ - 990 01’ BT dan memiliki luas daerah 200.298,54 ha. Luas tersebut meliputi luas Pulau Samosir 64.677 ha, luas pulau-pulau kecil 26,96 ha, dataran tinggi 77,445 ha dan luas perairan Danau Toba yang menjadi wewenang Kabupaten adalah 58.150 ha

Kabupaten samosir berbatasan dengan Kabupaten Karo dan Simalungun di sebelah Utara, Kabupaten Tapanuli Utara dan Kabupaten Humbang Hasundutan di sebelah Selatan, Kabupaten Dairi dan Pakpak Bharat di sebelah Barat, serta Kabupaten Tobasa di sebelah Timur.
Danau Toba adalah sebuah danau vulkanik dengan ukuran panjang 100 kilometer dan lebar 30 kilometer yang terletak di Provinsi Sumatera Utara, Indonesia. Di tengah danau ini terdapat sebuah pulau vulkanik bernama Pulau Samosir.
Danau Toba sejak lama menjadi daerah tujuan wisata penting di Sumatera Utara selain Bukit Lawang dan Nias, menarik wisatawan domestik maupun mancanegara.
Sejarah Danau Toba
Diperkirakan Danau Toba terjadi saat ledakan sekitar 73.000-75.000 tahun yang lalu dan merupakan letusan supervolcano (gunung berapi super) yang paling baru. Bill Rose dan Craig Chesner dari Michigan Technological University memperkirakan bahwa bahan-bahan vulkanik yang dimuntahkan gunung itu sebanyak 2.800 km³, dengan 800 km³ batuan ignimbrit dan 2.000 km³ abu vulkanik yang diperkirakan tertiup angin ke barat selama 2 minggu. Debu vulkanik yang ditiup angin telah menyebar ke separuh bumi, dari Cina sampai ke Afrika Selatan. Letusannya terjadi selama 1 minggu dan lontaran debunya mencapai 10 km di atas permukaan laut.
Kejadian ini menyebabkan kematian massal dan pada beberapa spesies juga diikuti kepunahan. Menurut beberapa bukti DNA, letusan ini juga menyusutkan jumlah manusia sampai sekitar 60% dari jumlah populasi manusia bumi saat itu, yaitu sekitar 60 juta manusia. Letusan itu juga ikut menyebabkan terjadinya zaman es, walaupun para ahli masih memperdebatkannya.
Setelah letusan tersebut, terbentuk kaldera yang kemudian terisi oleh air dan menjadi yang sekarang dikenal sebagai Danau Toba. Tekanan ke atas oleh magma yang belum keluar menyebabkan munculnya Pulau Samosir.
Kualitas Air Danau Toba
Indikator lainnya yang menunjukkan gejala penurunan kualitas air danau adalah pertumbuhan tanaman air terutama eceng gondok pada lokasi-lokasi tertentu. Adanya eceng gondok dan gulma air lainnya yang menunjukkan telah terjadinya eutrofikasi (peningkatan kesuburan air akibat tingginya kadar kandungan senyawa Nitrogen dan Fosfor), terutama diperairan pantai. Hal ini terlihat dari kandungan Nitrit dan Fosfat yang melebihi Kelas I & II seperti pada tabel di bawah ini.

Tabel Kualitas Air Danau Toba.
No.
Parameter
Satuan
Stasiun
BM



1
2
3
Kelas I
Kelas II

FISIKA






1
Suhu
oC
25,5
25,5
24,5
Dev.3
Dev.3

KIMIA






1
PH

7,8
7,9
7,7
6 - 9
6 – 9
2
DO
Mg/L
6,09
6,22
6,43
6
4
3
COD
Mg/L
18,35
10,34
14,23
10
25
4
BOD
Mg/L
4,49
1,95
3,11
2
3
5
Nitrit
Mg/L
0,187
0,111
0,152
0,06
0,06
6
Nitrat
Mg/L
0,542
0,245
0,441
10
10
7
Fosfat
Mg/L
0,441
0,222
0,314
0,2
0,2
Keterangan : St.1 = Parapat; St.2 = Simanindo
St.3 = Balige
Sumber : Laporan „Penggunaan Parameter Limnologi Dalam Penentuan Daya Dukung Danau Toba Untuk Budidaya Ikan Sistem Jala Apung“ dalam Seminar
Nasional Penanggulangan Kematian Massal Ikan Mas di Danau Toba.


Profil Volume Danau Toba
Ukuran Danau Toba memiliki Panjang: 87 km (utara-selatan), Lebar: 27 km (timur-barat), Ketinggian 905 meter dpl, Luas Permukaan Danau: 1.130 km2, Luas Daerah Tangkapan Air: 2.586 km2, Luas Lahan Kritis: 108.240 ha, Kedalaman maksimum: 529 m, Volume Air Total: 240 km3, Volume Air Masuk (1987): 2,2 km3, Volume Air Keluar (1987): 3,2 km3, Volume Air Masuk (1988): 0,9 km3, Volume Air Keluar (1988): 0,7 km3, Volume Penguapan: 1,8-2,0 km3, Siklus Pergantian Air: 110-280 tahun (rata-rata danau sedunia: 17 tahun). Hasil prediksi ahli Limnologi, siklus pergantian air Danau Toba : 75 – 77 tahun.

Ekosistem Kawasan Danau Toba
Kawasan Danau Toba, adalah salah satu kawasan andalan wisata yang merupakan asset nasional, dan memiliki nilai strategis bagi Propinsi Sumatera Utara, dengan fungsinya yang beraneka ragam, yaitu sebagai andalan daerah tujuan wisata, sumber air bersih bagi penduduk, kegiatan perikanan, baik secara tradisional maupun budidaya Keramba Jaring Apung (KJA), kegiatan pertanian, kegiatan transportasi air dan pembangkit tenaga listrik.
Namun disisi lain Danau Toba juga sebagai tempat pembuangan limbah cair dan limbah padat termasuk sampah yang berasal dari kegiatan domestik, pariwisata, perikanan, pertanian dan alat transportasi air.
Berdasarkan wilayah administrasi pemerintahan, Kabupaten Dairi merupakan salah satu kabupaten dari 7 kabupaten yang termasuk kedalam ekosistem Kawasan Danau Toba.
Kawasan Danau Toba beserta sumberdaya alam dan ekosistemnya merupakan kekayaan alam yang perlu dilestarikan untuk menunjang pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup bagi kepentingan nasional dan daerah. Pada kenyataannya saat ini, mutu lingkungan Kawasan Danau Toba semakin menurun sebagai akibat dari pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup serta akibat aktivitas seperti pemukiman, pertanian, perhotelan, perikanan, pembangkit tenaga listrik, rekreasi, transportasi dan lainnya yang kurang mengindahkan prinsip-prinsip kelestarian lingkungan.
Kegiatan pemanfaatan sumber daya alam Kawasan Ekosistem Danau Toba di Kabupaten Dairi, baik di Daerah Tangkapan Air dan Daerah Resapan Air Danau Toba, maupun kegiatan diperairan Danau Toba, telah menghasilkan berbagai limbah cair, limbah padat termasuk sampah, serta meningkatnya logam-logam dan zat kimia, serta peningkatan zat organik. Kesemuanya ini dapat menimbulkan pencemaran dan kerusakan lingkungan.
Potensi Sumber Daya Air Danau Toba
Prinsip dasar untuk memahami potensi sumber daya air Danau Toba, meliputi 2 (dua) hal penting yaitu : 1) Potensi air Danau Toba adalah volume air yang dapat dimanfaatkan, tanpa mengganggu upaya pengelolaan sumber daya air dalam memulihkan dan menjaga ketersediaan airnya. 2) Volume air yang dibutuhkan untuk pemulihan adalah defisit volume air yang diperlukan untuk menjaga muka air rata-rata pada evaluasi yang diinginkan.
Berbagai faktor yang sangat mempengaruhi potensi sumber daya air Danau Toba, antara lain: neraca air Danau Toba, kondisi hidroopografis eksisting kawasan pantai, terutama yang telah dimanfaatkan untuk budidaya dan resapan air bawah permukaan. Perkembangan aktivitas budidaya yang dilaksanakan Kawasan Danau Toba dan sekitarnya, berpotensi menimbulkan permasalahan yang mengancam daya dukung lingkungan bagi peri kehidupan masyarakat. Indikasi ke arah kerusakan dan degradasi sumber daya alam dan lingkungan Kawasan Danau Toba, terlihat antara lain oleh kerusakan Daerah Tangkapan Air atau catchment area.
Fungsi lingkungan perairan Danau Toba diperuntukkan dan dimanfaatkan sebagai sumber air untuk penyediaan air bersih, air industri, air pengairan pertanian, sebagai sumber daya pariwisata, sumber daya perikanan, sumber daya energi dan prasarana transportasi, tapi sekaligus sebagai penerima berbagai macam limbah.


Biomassa
Submerged macrophytes (M2)
Stasiun
Potamogeton
sp
Myriophyllum
Spicatum
Others
Total
Lotung
2.470
130
< 25
2600
Onan Runggu
2.800
150
0
2950
Parbaloan Urat
1.833
310
520
2.663
Tongging
1.947
157
< 25
2.104
Lb. Sitorus
150
1.640
0
1.750
Sumber : Samosir, P. Degradasi Lingkungan Kawasan Danau Toba. PPS 702/PO.52059374. IPB. Bogor

Geologi
Untuk pendekatan teknik, menurut hasil analisis geologi tata lingkungan, Kabupaten Samosir memiliki tiga kelas kesesuaian lahan yang dapat dikembangkan untuk menampung dan mengembangkan kehidupan, yaitu lahan yang dapat dikembangkan secara optimal, lahan yang dikembangkan secara terbatas karena adanya kendala, dan lahan yang tidak dapat dikembangkan karena tingginya hambatan. Secara singkat selanjutnya disebutkan sebagai lahan optimal, lahan terbatas dan lahan dengan hambatan.

Lahan optimal merupakan lahan yang sesuai dan mendukung untuk dijadikan sebagai lahan budidaya. Lahan terbatas merupakan lahan dengan kondisi fisik yang dapat dikembangkan dengan pembatasan dan membutuhkan biaya yang tinggi untuk melakukan pembangunan. Kawasan yang termasuk ke dalam lahan dengan terbatas adalah kawasan konservasi dan resapan air tanah.







Pola Pemanfaatan Ruang Eksisting

Kondisi Pola Pemanfaatan Ruang Eksisting
KELAS SATUAN BENTANG ALAM

POTENSI

KELEMAHAN


Dataran
Terdapatnya mata air panas, relative mudah digali, air tanah cukup melimpah, mudah dikerjakan dan banyak pasir dan batu (sirtu).
Dapat terjadi banjir banding pada pertemuan dua sub DAS. Kemungkinan terjadi penyusupan air Danau Toba akibat pemompaan air tanah yang melampaui kapasitas alaminya. Aliran air permukaan relative cepat dan mudah tererosi oleh aliran sungai.



Perbukitan
a. Bukit
terdapat mata air panas, aliran air baik, sangat baik
Relatif sukar digali, potensial terjadinya longsoran, cukup tinggi, baik berupa tanah pelapukan ataupun ataupun batuannya yang bersifat local.
b. Tebing Terjal
Aliran air permukaan baik hingga sangat baik.
Berpotensi terdapat mata air.
Dapat terjadi longsoran cukup tinggi, baik berupa tanah pelapukan ataupun batuannya yang bersifat local.
c. Punggungan
terdapat banyak aliran sungai, air permukaan baik dan mudah digali.
Dapat banjir bandang, erosi permukaan ataupun gerakan tanah pada lapisan tanah pelapukan dan batuan.
d. Lembah
Potensi terdapat aliran sungai, berpotensi terdapat mata air.
Dapat terjadi erosi permukaan ataupun gerakan tanah pada lapisan atau tanah pelapukan.






DEBIT AIR

OPERATION GUIDANCE OF WATER DISCHARGE FROM REGULATING DAM (RGD)
















Range of Water
A. Case - Water Level of Lake Toba
Range of Water
B. Case - Water Level of Lake Toba
Level (m)
Tends to Increase (m3/second)
Level (m)
Tends to Decrease (m3/second)

0.001
0.02
0.03
0.04
0.001
0.02
0.03
0.04
905,00 - 905,05
113
125
138
150
905,05
s.d
905,00
164
143
121
100
905,05 - 905,10
159
168
177
186
905,10
s.d
905,05
228
214
200
186
905,10 - 905,15
200
214
228
242
905,15
s.d
905,10
297
279
260
242
905,15 - 905,20
260
278
297
315
905,50
s.d
905,15
379
358
336
315
905,20 - 905,50
336
357
379
400







Source : Data Lampiran Surat Ketua Otorita Asahan nomor. 115/K-OA/IV/2009
















Tabel Rekapitulasi Data Curah Hujan Dinas Pertanian Kabupaten Samosir, 2007






































No
Kecamatan

Bulan
Jan
Feb
Mar
April
Mei
Juni
Juli
Agust
Sept
Okt
Nop
Des


CH
HH
CH
HH
CH
HH
CH
HH
CH
HH
CH
HH
CH
HH
CH
HH
CH
HH
CH
HH
CH
HH
CH
HH
1
Harian
73
7
24
4
72
8
183
14
52
8
61
10
37
5
30
6
32
6
147
14
63
8
935
100
2
Nainggolan
147
5
57
4
110
13
306
12
135
13
294
11
149
8
124
15
99
9
190
14
173
12
1907
130
3
Onanrunggu
146
8
55
5
160
16
301
16
121
16
23
7
148
11
97
15
192
15
122
16
118
18
1641
160
4
Palipi
208
10
145
11
185
16
150
10
211
16
136
10
122
11
75
10
84
9
135
11
120
11
1738
141
5
Sianjur Mula-mula
70
7
35
6
77
12
184
15
63
10
67
11
36
5
100
11
32
8
120
15
152
13
1057
119
Total
644
37
316
30
604
65
1124
67
582
63
581
49
492
40
426
57
439
47
714
70
626
62
7278
650
Rerata
129
7.4
63
6
121
13
225
13
116
13
116
9.8
98
8
85
11
88
9
143
14
125
12
1456
130


























Tabel 31 (a) dan (b) Sumber : Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kabupaten Samosir, 2007






Keterangan :
























CH : Curah Hujan
























HH : Hari Hujan
























(-) : Tidak ada Hujan
























(0) : Curah Hujan < 0,5 mm
























Tabel Rekapitulasi Data Curah Hujan Badan LHPP Kabupaten Samosir, 2008






































No
Kecamatan

Bulan
Jan
Feb
Mar
April
Mei
Juni
Juli
Agust
Sept
Okt
Nop
Des


CH
HH
CH
HH
CH
HH
CH
HH
CH
HH
CH
HH
CH
HH
CH
HH
CH
HH
CH
HH
CH
HH
CH
HH
1
Harian
280
5
151
4
207
7
574
10
337
5
286
5












2
Nainggolan
175
10
81
4
301
20
296
19
99
8
74
5












3
Onanrunggu
228
5
83
7
190
16
187
19
107
9
87
8












4
Palipi
151
12
128
8
276
17
206
20
39
6
61
8












5
Sianjur Mula-mula
158
14
167
6
348
20
415
18
75
7
184
9
















Penggunaan Lahan (Land Use) di Catchment Area (1981)
Natural Landscape
Area (km2)
%
Grass (Alang-alang)
955
40,6
Scrub
59,24
2,5
Forest
159,66
6,8
Reforestation
388,7
16,6
Regreening
228,28
9,7
Agriculture land & Plantation
20,88
0,9
Others
23,56
1,1
Total
2.347,5
100
Sumber : Samosir, P. Degradasi Lingkungan Kawasan Danau Toba. PPS 702/PO.52059374. IPB. Bogor

Perencanaan RTRW
Pengertian Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Samosir yang dimaksud didasarkan pada Undang-undang Penataan Ruang No. 26 tahun 2007. Dalam UUPR tersebut, yang dimaksud dengan Penataan Ruang adalah proses perencanaan, pelaksanaan rencana, dan pengendalian pelaksanaan rencana tata ruang. Tata ruang sendiri adalah wujud structural pola pemanfaatan ruang baik yang direncanakan maupun tidak yang menunjukkan hirarki dan keterkaitan pemanfaatan ruang. Sedangkan Perencanaan tata ruang adalah suatu proses untuk menentukan struktur ruang dan pola ruang yang meliputi penyusunan dan penetapan rencana tata ruang.

Rencana Tata Ruang adalah hasil dari perencanan tata ruang berupa rencana-rencana kebijaksanaan pemanfaatan ruang secara terpadu untuk berbagai kegiatan. Sedangkan wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan pengamatan administratif pemerintah dan fungsional.

Jadi RTRW adalah hasil dari perencanaan tata ruang berupa rencana-rencana kebijaksanaan pemanfaatan ruang secara terpadu untuk kegiatan di dalam suatu ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan pengamatan administratif pemerintah dan atau fungsional.

Dalam UUPR tersebut, subtansi RTRW Kabupaten adalah sebagai berikut:
a. tujuan, kebijakan, dan strategi penataan ruang wilayah kabupaten;
b. rencana struktur ruang wilayah kabupaten yang meliputi system perkotaan di wilayahnya yang terkait dengan kawasan perdesaan dan system jaringan prasarana wilayah kabupaten;
c. rencana pola ruang wilayah kabupaten yang meliputi kawasan lindung kabupaten dan kawasan budi daya kabupaten;
d. penetapan kawasan strategis kabupaten;
e. arahan pemanfaatan ruang wilayah kabupaten yang berisi indikasi program utama; dan
f. ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kabupaten yang berisi ketentuan umum peraturan zonasi, ketentuan perizinan, ketentuan insentif dan disisentif, serta arahan sanksi.

Konsep perwilayahan pengembangan di Kabupaten Samosir terbagi ke dalam dua pendekatan, yaitu pendekatan teknik (spatial analysis) dan pendekatan budaya (aspatial analysis). Pendekatan teknik menggunakan hasil analisis geologi tata lingkungan yang membagi perwilayahan Kabupaten Samosir berdasarkan kesesuaian fisik untuk pengembangan wilayah. Sedangkan pendekatan budaya, menggunakan nilai-nilai prinsip budaya batak dalam mengatur pembagian ruangnya.

Penggunaan Lahan
Bila dari data dan peta terlihat adanya perubahan jenis penggunaan tanah, perubahan tersebut belum tentu bersifat permanen. Perubahan yang terjadi terutama jika jenis kegiatan adalah pertanian, kemungkinan bahwa perubahan tersebut adalah karena menunggu bergantinya iklim.

Pertanian
Untuk mendukung pengembangan dan keberlanjutan sector pertanian sangat dibutuhkan dukungan penerapan ilmu pengetahuan teknologi pertanian sebagai solusi untuk mengatasi permasalahan pertanian yang muncul karena keterbatasan fisik wilayah seperti mencari komoditas yang potensial dikembangkan hubungannya dengan potensi kandungan tanah, ataupun mencari campuran kandungan unsur hara untuk senantiasa menjaga kesuburan tanah untuk sektor pertanian.

Dukungan untuk pengembangan kegiatan pertanian tidak saja perlu dilakukan dalam hal pembenahan dan peningkatan kegiatan yang telah ada (revitalisasi), namun juga diperlukan dukungan prasarana berupa insentif bagi penanaman modal yang bermaksud mengembangkan tanaman unggulan untuk dijadikan ujung tombak pengembangan agropolitan.

Dukungan insentif yang langsung menyentuh masyarakat kecil yang bergerak dalam sector pertanian juga perlu diperluas keberadaannya, seperti pengembangan keberadaan koperasi atau lembaga keuangan lainnya yang dapat mendukung tumbuh kembang dan bertahannya para petani dalam pengelolaan lahannya.

Pengembangan kegiatan pertanian, selain untuk meningkatkan kesejahteraan petani dan mendukung pemerintah dalam tujuan pembangunan Samosir sebagai agropolitan, penciptaan lapangan pekerjaan di bidang pertanian dengan lahan yang dominant penggunaannya juga akan menjaga Kabupaten Samosir dari kondisi kehilangan tenaga kerja potensial karena meninggalkan Kabupaten Samosir karena tidak ada yang bisa dilakukan di Kabupaten Samosir.
Bencana
Selain adanya potensi dan kelemahan pada setiap bentang alam, Kabupaten Samosir juga rawan terhadap ancaman gempa bumi, letusan gunung berapi dan longsor. Kabupaten Samosir mempunyai tingkat kebesaran gempa berkisar antara V hingga VIII (skala MMI), zona tertinggi terletak pada jalur patahan Semangko;
1. Skala V-VI, tersebar merata di wilayah kabupaten
2. Skala VI-VII, hanya terisolir di daerah DK. Nabarat – Aritonang – Siborong-borong – Aek Nauli hingga Dolok Sanggul
3. Skala VII-VIII, tersebar dalam bagian zona VI – VII yang tersebar di daerah Parmiahan – Lumban Pancur – Pagaran.

Zona Percepatan (cm2/detik):
Zona A = 0,20 – 0,25 g, tersebar di bagian utara Kabupaten Samosir (DK. Sibutan – DK. Suara – DK. Sigaunggaung)
Zona B = 0,25 – 0,30g, tersebar di bagian tengah Danau Toba (sisi tebing utara dan selatan)
Zona C = 0,30 – 0,35 g, tersebar di bagian tengah Patahan Semangko, mulai dari tepi tebing selatan Danau Toba hingga bagian selatan jalur Pardomuan – Sihabonghabong – Pusuk.

Gerakan Tanah
· G1= Gelinciran : Dengan lereng > 10% beda tinggi > 100 meter dan hanya terdapat pada batuan Tmppt yang kedudukannya serah lembah.
· G2= Runtuhan : Dengan lereng > 10% beda tinggi > 100 meter terdapat pada batuan Qvt, Qps, Tmppt, Pub, Tmvh, Puk, dikontrol pula oleh patahan yang banyak terdapat pada bagian tersebut (umumnya berarah U 300 – 330 0T) dan patahan lain yang memotongnya, ini akan mempermudah gerakan tanah. Begitu pula dengan adanya sesar/retakan yang biasanya akan memotong patahan besar ini dan menghasilkan bongkah-bongkah batuan yang mudah runtuh/meluncur.
· G3= Longsoran : Terdapat hanya pada unit batuan Qvt dan Qps, tanpa adanya control bidang perlapisan ataupun patahan/sesar/retakan. Umumnya terjadi pada zona pelapukan batuan yang dipicu oleh kadar air yang terus meningkat (jenuh air tanah).
Kabupaten Samosir tidak memiliki gunung api aktif (Tipe A/B/C), tetapi dapat terkena sebaran abu letusan (Gunung Sinabung, Pusuk Buhit dan Helatobi) yang menuju ke arah Kabupaten Samosir.
Berdasarkan potensi dan kelemahan yang ada di Kabupaten Samosir, sesungguhnya penduduk telah dengan bijaksana mengolah tanahnya sebagai sumber penghasilan. Tidak ada perubahan bentang alam maupun perusakan alam yang dilakukan oleh penduduk setempat yang dapat mengancam keberadaan, terutama Pulau Samosir. Namun adanya pendatang dengan modal besarlah yang mengubah keadaan penggunaan tanah yang ada secara besar-besaran.

II. KARAKTERISTIK
Kualitas Air
NO
TITIK SAMPLING
STATUS MUTU AIR
Status Mutu Air Danau Toba Kelas – I PP 82/2001

1
2
3
4
5
6
7


Simanindo
Ambarita
Tomok
Onan Runggu
Tengah Tao Nainggolan
Palipi
Pangururan

Tercemar Sedang
Tercemar Sedang
Tercemar Sedang
Tercemar Sedang
Tercemar Sedang
Tercemar Sedang
Tercemar Sedang

Status Mutu Air Danau Toba Kelas – II PP 82/2001

1
2
3
4
5
6
7


Simanindo
Ambarita
Tomok
Onan Runggu
Tengah Tao Nainggolan
Palipi
Pangururan

Tercemar Ringan
Tercemar Ringan
Tercemar Ringan
Tercemar Ringan
Tercemar Ringan
Tercemar Ringan
Tercemar Ringan

Sumber : www.google.com/profil Danau Toba
Kualitas Perairan Danau Toba
Kualitas perairan Danau Toba pada dasarnya sangat dipengaruhi oleh kegiatan-kegiatan manusia, terutama pemukiman penduduk, peternakan, pertanian, kegiatan industri pariwisata, kegiatan perindustrian dan perdagangan termasuk pasar, hotel dan restoran, serta kegiatan transportasi air. Pengaruh terpenting dari seluruh kegiatan tersebut adalah produksi sampah dan limbah yang secara langsung maupun tidak langsung masuk kedalam perairan Danau Toba.
Pencemaran dan Kerusakan Kawasan Danau Toba
Kegiatan masyarakat di Daerah Tangkapan Air dan Daerah Resapan Bawah Permukaan Danau Toba pada Kec. Silahi Sabungan, secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi kualitas air Danau Toba. Kegiatan perairan Danau Toba merupakan sumber pencemaran yang mempengaruhi kualitas air dan menimbulkan kerusakan lingkungan Kawasan Danau Toba.
Kegiatan masyarakat di DTA dan Resapan Bawah Permukaan, maupun diperairan Danau Toba yang merupakan sumber pencemaran dan kerusakan lingkungan adalah sebagai berikut:
Pemukiman penduduk
Penduduk yang bermukim di Kawasan Danau Toba, terutama yang tinggal di pinggir danau dengan berbagai kegiatannya, patut diduga menghasilkan berbagai macam limbah yang dibuang ke Danau Toba. Limbah dan kegiatan pemukiman/rumah tangga seperti : air cucian, tinja, sampah, kotoran ternak akan mempengaruhi kualitas air Danau Toba. Kegiatan industri ulos (home industry) juga menghasilkan limbah cair sisa zat pewarna yang dapat merusak kualitas air Danau Toba. Berbagai macam limbah tersebut selanjutnya akan meningkatkan kadar BOD, COD, dan bakteri dan lain-lain di perairan. Peningkatan BOD mengakibatkan penurunan kadar oksigen terlarut (DO) dalam badan air, sehingga akan mempengaruhi kota pada perairan Danau Toba.
Sejalan dengan laju pertumbuhan penduduk di Kawasan Danau Toba, diperkirakan terjadi peningkatan beban pencemar diperairan Danau Toba pada masa yang akan datang. Hal ini memberikan ketegasan diperlukannya pengelolaan dan pengendalian terhadap berbagai sumber pencemar, diantaranya aktivitas pemukiman penduduk.
Hotel dan restoran/rumah makan
Hotel dan restoran/rumah makan yang ada di Kawasan danau Toba, terutama terletak dipinggir atau dekat danau patut diduga menghasilkan limbah yang masuk kedalam badan perairan.
Limbah dari hotel dan restoran/rumah makan seperti : limbah cair, tinja, limbah padat/sampah, sisa-sisa makanan dan lain-lain akan mempengaruhi kualitas air Danau Toba, dimana berbagai limbah tersebut selanjutnya akan meningkatkan kadar BOD, COD, bakteri pathogen dan lain-lain. Semakin tinggi buangan air kotor maka akan semakin berat pula beban pencemaran.
Peningkatan BOD akan mengakibatkan penurunan kadar oksigen terlarut (DO) dalam badan air, sehingga akan mempengaruhi kehidupan biota perairan. Disamping itu limbah cair dari hotel, restoran /rumah makan yang dibuang keperairan danau akan mempengaruhi kadar Amoniak (NH3) pada perairan dan memberikan dampak negatif terhadap kegiatan perikanan.
Kegiatan Pertanian
Kegiatan pertanian merupakan kegiatan yang mendominasi Kawasan Danau Toba, sehingga secara tidak langsung mempengaruhi perairan Danau Toba. Kegiatan pertanian lahan kering dengan sistem perladangan berpindah, pengolahan lahan tanpa mempedimani kaidah-kaidah konservasi sehingga dengan curah hujan yang tinggi akan meningkatkan erosi yang selanjutnya mengakibatkan pengrusakan lahan-lahan produktif. Lebih jauh bahan-bahan yang terbawa erosi akan menjadi sedimentasi dan pendangkalan danau.
Kegiatan pertanian juga meliputi pemberian pupuk, pemberian pestisida, zat pengatur tumbuh (ZPT) dimana aplikasinya sering tidak tepat jenis, dosis, cara dan waktu. Dengan bantuan air hujan residu bahan-bahan tersebut mengalir bersama menuju danau.
Kegiatan tersebut akan meningkatkan kadar pestisida dan bahan pencemar nitrogen, fosfor, kalium dan zat organik perairan Danau Toba. Kadar pestisida yang tinggi dapat mengganggu pemanfaatan air danau untuk air bersih dan perikanan. Sedang sisa penggunaan pupuk dapat mempengaruhi tingkat kesuburan air akibat penambahan unsur N, P, K (eutrofokasi).
Pembukaan, Perambahan dan Kebakaran Hutan
Lahan hutan di Kawasan Danau berupa hutan pinus, ekaliptus dan kayu-kayuan lainnya. Kegiatan pembukaan hutan yang tidak terencana, pembakaran hutan maupun penebangan hutan secara liar akan mengakibat hilangnya penutup lahan dan vegetasi, sehingga potensian meningkatkan erosi permukaan dan struktur tanah akan rusak. Terbukanya penutupan lahan menimbulkan sedimentasi dan kekeruhan danau. Selain itu membuat peningkatan konsentrasi padatan terlarut dan padatan terrsuspensi.
Kegiatan Mandi, Cuci, dan Kakus (MCK)
Kegiatan MCK pada umumnya berlokasi di pemukiman yang berbatasan dengan Danau Toba. Pada lokasi terjadinya aktivitas MCK, kondisi perairan relatif keruh yang disebabkan karena bahan deterjen, air cucian dan juga tinja, dan akibatnya merangsang tumbuhnya eceng gondok. Disamping itu, pada pinggiran danau, dijumpai banyak sampah, yang pada gilirannya terbawa dalam danau, yang mengakibatkan banyak limbah padat. Kegiatan MCK menimbulkan peningkatan kadar BOD dan COD perairan, serta penurunan kadar oksigen terlarut (DO) dalam badan air, akan mempengaruhi kehidupan biota pada perairan Danau Toba. Selain itu terjadi pula penambahan unsur pencemar nitrogen, fosfor, dan kalium, yang mempengaruhi tingkat kesuburan perairan (eutrofikasi).
Kegiatan Budidaya Perikanan di Perairan Danau Toba
Kegiatan ekonomi masyarakat di Kawasan Danau Toba disektor perikanan meliputi kegiatan penangkapan dan budidaya. Kegiatan budidaya yang berkembang pesat adalah dengan Keramba Jaring Apung.
Keberadaan Keramba Jaring Apung diperairan Danau Toba menambah beban pencemaran akibat adanya limbah berupa sisa-sisa pakan yang tidak habis dikonsumsi ikan dan kotoran ikan itu sendiri. Selain itu juga mendorong terjadinya proses eutrofikasi. Proses eutrofikasi yang terjadi di lokasi-lokasi budidaya Keramba Jaring Apung, mendorong tumbuh berkembangnya tumbuhan eceng gondok dan hydrilla. Walaupun kualitas air Danau Toba saat ini masih tergolong baik, namun pengembangan Keramba Jaring Apung akan menambah beban perairan danau oleh karena sisa pakan ikan dan kotoran akan mencemari perairan.
Transportasi Air
Transportasi air di Danau Toba merupakan bagian dari aktifitas ekonomi dan sosial masyarakat, termasuk kegiatan pariwisata. Alat transportasi ini berpotensi menambah bahan pencemar masuk kedalam Danau Toba melalui ceceran minyak dan oli dari kapal atau perahu bermotor maupun buangan plastik, kaleng minuman, baterai bekas dan sampah lainnya dari atas kapal ke danau. Lapisan minyak dipermukaan air selain akan menurunkan kadar oksigen terlarut dalam air, secara visual akan mengganggu kegiatan pariwisata.
Tumbuhan Eceng Gondok dan Hydrilla
Eceng gondok (Eichornia crassipes) merupakan tumbuhan pengganggu (gulma), tumbuhan terapung diperairan dan pertumbuhannya cepat. Eceng gondok berkembang biak dengan 2 (dua) cara yaitu dengan biji dan tunas (stolon). Suhu ideal untuk pertumbuhannya berkisar antara 280 – 300 C dengan drajat keasaman (pH) antara 4 – 12. Selain itu eceng gondok juga mempunyai kemampuan besar untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan keadaan lingkungan. Satu batang eceng gondok dalam waktu 52 hari mampu berkembang menjadi tanaman baru seluas 1 m2. Pada bagian-bagian perairan danau yang mengalami eutrofikasi, dekat pemukiman dan muara sungai yang airnya relatif keruh, dijumpai populasi eceng gondok yang sangat banyak.
Keberadaan eceng gondok diperairan Danau Toba sudah merusak keindahan (estetika) danau dan menganggu kelancaran lalu lintas alat transportasi air. Belakangan diketahui pula bahwa pada tempat-tempat dimana ditemui populasi eceng gondok diduga kuat menjadi habitat yang baik perkembangbiakan nyamuk malaria.
Hydrilla adalah termasuk gulma air yang tumbuh dibawah permukaan air, tidak kelihatan sehingga seolah-olah tidak ada pencemaran oleh gulma. Namun sebenarnya tumbuhan hydrilla sudah mencapai masalah di Danau Toba seperti halnya eceng gondok.
Hydrilla tumbuh subur pada bagian tepi danau yang dangkal, berair jernih dan berpasir banyak serta dalam kondisi mengalami proses eutrofikasi. Pada bagian-bagian tepi danau yang populasi hydrillanya sudah banyak, dapat mengganggu kenyamanan orang yang berenang. Demikian pula perahu motor atau alat transportasi lainnya bisa menganggu perjalanannya karena terjebak oleh hydrilla yang membelit alat baling-balingnya.
Dampak Pasokan Air dari Sungai Renun
PLTA Renun merupakan pembangkit listrik type aliran langsung dengan menggunakan waduk/kolam pengatur harian berkapasitas 0,5 juta m3. Air yang masuk kedalam waduk/kolam pengatur harian berasal dari Lau Renun dan 11 anak sungainya. Air dari waduk dialirkan ke terowongan dengan debit 10m3/detik, memutar turbin pembangkit listrik. Setelah melalui turbin air selanjutnya mengalir ke Danau Toba.
Selain memberikan tambahan pasokan air ke Danau Toba sebesar 10 m3/detik, kualitas airnya relatif keruh kecoklatan oleh kadar bahan organik lapuk yang berasal dari daerah hulu. Walaupun masih memperlihatkan kualitas air cukup baik, tetapi parameter pH, mangan (Mn), dan amoniak (NH3) telah melampaui batas mutu.
Selanjutnya karena wilayah DAS Renun relatif rawan erosi maka pembangunan PLTA Renun juga akan meningkatkan sedimentasi yang sebagian terbawa oleh air masuk mengalir ke Danau Toba.
Keanekaragaman Hayati
Menurut Ada pun jenis Flora di Danau Toba meliputi :
- Emerged macrophytes : Nelumbo nucifera, Nymhaea sp,
- Floating macrophytes : Eichornia crassipes, Lemma minor, Azolla pinnata, Spirodella polyrhiza,
- Submerged macrophytes : Potamogeton malaianus, P.polygonifolius, Myriohyllum spicatum, Ceratophyllum demersun, Hydrilla verticillata, Chara sp.
- Phytoplankton : Amphora, Cocconema, Asterionella, Synedra, Gomphonema, Orthosira, Navicula, Mastogloia, Pleurosigma, Nitzschia, Genicularia, Botryococcus, Synechoccus, Anabaena, Oscillatoria.

Fauna
- Zooplankton : Cyclops, Cladocera,
- Benthos : Macrobrachium sintangensis, Brotia costula, Thiara scabra, Melanoidestuberculata, Melanoides granifera, Anentome Helena, Lymnaea brevispira, L.rubiginosa, Physastra sumatrana, Corbiculla tobae,
- Fish : Tilapia mossambica, Aplocheilus pachax, Lebistes reticulatus, Osphronemus goramy, Trichogaster trichopterus, Channa striata, C.gachua, Clarias batrachus, C.neiuhofi, C.sp., Nemachilus fasciatus, Cyprinus carpio, Puntiusjavanicus, P.binotatus, Osteochilus naseselti, Lissochillus sp., labeobarbus sora, Rasbora sp.

Sarana dan Prasarana ( Jalan, Listrik, dll)
Setiap pusat-pusat pelayanan dihubungkan oleh system transportasi, yang meliputi transportasi darat, danau dan penyebrangan, serta udara. Prasarana Transportasi darat terdiri dari jaringan jalan kolektor primer yang merupakan kewenangan pengelolaan provinsi dan berfungsi sebagai penghubung antara PKW dengan daerah kabupaten lain, diantaranya adalah:
a. Jalan Lingkar Luar, yang menghubungkan daerah Silalahi-Samosir-Humbang Hasundutan melewati daerah pinggiran Danau Toba sepanjang ± 80,026 km.
b. Jalan Tele-Pangururan, yang menghubungkan Sidikalang dan Tarutung dengan Pangururan sepanjang ± 22,18 km.
c. Jalan Lingkar dalam pulau Samosir, yang menghubungkan Pangururan dengan Parapat melalui Simanindo-Tomok (jalur utara) sepanjang ± 40,88 km dan melalui Palipi-Onan Runggu-Tomok (jalur selatan) sepanjang ± 80,23.
Jaringan jalan kolektor sekunder yang berfungsi menghubungkan kota PKW dengan dan antar PKL primer serta dalam melayani kebutuhannya, diantaranya adalah:
a. Jalan Parbaba-Partungkoan-Parmonangan-Tomok sepanjang ± 40,8 km
b. Jalan Palipi-Lontung-Tomok sepanjang ± 16,01 km
c. Jalan Parbaba (perkantoran Pemkab)-Rianiate (Kantor Bupati) lewat jalur tengah sepanjang ± 31,9 km
d. Jalan Parbaba-Salaon-Partungkoan-Parmonangan-Tomok
e. Jalan Harian Boho-Sagala
Jaringan jalan local yang berfungsi untuk menghubungkan kawasan permukiman dengan jaringan jalan kolektor primer dan sekunder yang direncanakan sesuai dengan kebutuhan masyarakat dengan pertimbangan efisiensi dan efektifitas pelayanan jaringan jalan.
Sistem sarana transportasi darat mengalami dampak dari pengembangan pusat-pusat wilayah maka dengan didukung oleh prasarana yang memadai akan terjadi system pengankutan, baik orang maupun barang yang dapat berjalan dengan lancer. Salah satu prasarana angkutan darat adalah terminal. Pengembangan terminal berbarengan dengan pengembangan pelabuhan/ dermaga dan didukung oleh prasarana jalan
III. PEMANFAATAN
1. Keramba Jaring Apung (KJA) PT. Aquafarm Nusantara di Sirungkungon
Jumlah unit : 55
Dimensi : θ 12 meter, Kedalaman 9 meter
Ikan budidaya : Nila merah
Jumlah ikan / Unit : 120.000 ekor
Volume pakan/keramba/hari : 1050 kg
Kedalaman : > 150 m
Jarak ke pantai : > 50 m

2. KJA Masyarakat
Jumlah Lokasi : 51
Dimensi : 4 x 4 x 4
Kedalaman : 6 m
Jarak ke pantai : 1 m

Potensi dan Peluang
Danau Toba sumber air minum
Air Baku Air Minum
- Permukiman di pinggiran Danau Toba : 149 dusun/ Desa
- 53 di Pulau Samosir
- 96 di Pulau Sumatera dan Pulau Sibandang
- Yang tidak menggunakan air Danau Toba sebagai sumber air minum : 19 dusun/desa di Pulau Sumatera (12%).
- Sumber Air PDAM : 3 intake PDAM Balige, Laguboti dan Pangururan

IV. PERMASALAHAN PENCEMARAN DAN KERUSAKAN LINGKUNGAN
Pencemaran Danau Toba
Pencemaran Danau Toba berada dalam tahap kritis. Jika tidak ditangani secara serius pencemaran ini akan menimbulkan gangguan pada kesehatan masyarakat setempat. Gangguan tersebut dapat saja mengakibatkan lemah otak . salah satu indikator tercemarnya danau toba adalah meningkatnya kadar Nitrogen. Nitrogen tersebut bersumber dari protein yang terkadung dalam pelet dan sisa makanan dari restoran yang di buang ke Danau Toba. Nitrogen tersebut terpecah menjadi amoniak dan di ikutiti perubahan menjadi Kalium. Zat ini akan sangat membahayakan jiwa manusia jika dikonsumsi. Selain itu, tinja yang dibuang ke danau toba juga mengandung jat yang membahayakan bagi tubuh manusia. Gejala pencemaran tersebut sudah terlihat jelas seperti pada November 2004. Puluhan juta ikan Mas mati secara serentak yang di akibatkan oleh virus koi herpes. Awal 2008 juga meresahkan warga setelah menemukan banyak jamur pada kulit ikan. Yang lebih menkawatirkan lagi adalah ikan yang hidup bebas juga terjangkit virus.
Formula Manajemen Perikanan dalam Mekanisme Pencegahan Pencemaran Danau Toba
Asumsi
§ Volume air danau tetap.
§ Laju air danau tetap.
§ Air danau tercampur merata.
§ Ukuran keramba yang digunakan sama.
§ Jumlah ikan per keramba sama.
§ Pakan ikan yang digunakan sama.
Data yang terkait
§ Ukuran keramba 5m x 6m
§ Jumlah keramba 6.312 unit
§ Jumlah ikan/keramba 4000 ekor
§ Jumlah pakan ikan/per keramba/hari 24 kg
§ Masa panen ikan tiap 5 bulan sekali
§ Sisa pakan ikan 30% dari jumlah pakan yang diberikan
§ Kadar nitrogen yang terkandung dalam sisa pakan sebanyak 69%
Perhitungan
— Jumlah pakan per masa panen = jumlah keramba * jumlah pakan per keramba per hari* 30 hari * 5 = 22.723.200 kg
— Sisa pakan per masa panen = 30% * jumlah pakan per masa panen = 6.816.960 kg
— Jumlah nitrogen yang dihasilkan per masa panen = 69% * sisa pakan per masa panen = 4.703.702,4 kg
— Jumlah ikan = jumlah keramba * jumlah ikan/keramba= 25.248.000 ekor
Jumlah nitrogen yang sangat basar akan membahayakan keseimbangan di sekitar danau toba. Seperti di jelaskan sebelumnya nitrogen tesebut akan terpecah menjadi amonik dan di ikuti perubahan menjadi kalium. Dengan tingginya kadar nitrogen tersebut akan mengakibatkan peluang terkonsumsinya kalium akan semakin besar. Jika tidak di atas, tidak mengherankan suatu saat nanti penduduk setempat mengalami ganguan kesehatan dan lemah otak. Lalu, bagaimana mengontrol nitrogen tersebut akan menjadi sangat penting untuk menyelamatkan penduduk setempat. Pencemaran danau toba tidak saja mengganggu kesehatan masyarakat, namun akan berdampak pada kualitas ikan yang di panen.
Selain berbicara kadar nitrogen masih banyak kerugian yang di akibatkan pencemaran tersebur. Jumlah ikan yang dipanen yang begitu besar akan di konsumsi masyarakat di luar samosir. Jika ikan yang di panen dari samosir terbukti tidak sehat akan menyebapkan kerugian besar diantaranya, samosir akan terisolasi. Jika ini samapai terjadi, pariwisata samosir yang begitu indah akan musnah, perekonomian masyarakat akan hancur.





V. UPAYA PENGELOLAAN (PENINGKATAN DAN PEMULIHAN KUALITAS DANAU)
Program yang sudah maupun yang akan dilakukan, Rencana Aksi Pengelolaan Danau.
Pemodelan sebagai salah satu solusi pencemaran Danau Toba.
Dalam pemodelan ini, ingin diketahui laju pertambahan nitrogen ke dalam danau toba. Data tersebut dapat di gunakan untuk mengetahui jumlah nitrogen di dalam danau setiap waktu t. Laju tersebut yaitu jumlah nitrogen yang masuk di kurang denga jumlah nitrogen yang keluar. Jumlah nitrogen yang masuk tersebut yaitu jumlah nitrogen yang di sebapkan manusia seperti, sisa makanan ikan, zat lainnya. Sehingga, dengan mengotrol jumlah sisa makanan ikan atau zat lain akan mengotrol jumlah nitrogen dalam danau toba. Dengan model tersebut akan memperlambat laju pertambahan nitrogen dalam danau toba.

Indikasi permsalahan pembangunan lingkungan hidup EKDT secara holistik dan konprehensif dari aspek lingkungan, ekonomi, sosial dan institusi dapat dilihat pada tabel berikut :
Lingkungan
Ekonomi
1). Lahan
- Hutan : 13 % x luas DTA (standar 30 %)
- Ketandusan : 24,65 %
- Wil. Rawan Bencana : 46 25 %
- Ladang / Kampung : 22,78 %
- Sampah dikelola : 16,97 %
2). Air
- Muka Air : 902,28 – 905, 23 m dpl (rek. 905,5 m)
- Debit Air Sungai 19 DAS tidak stabil
- Kualitas Air :
DO 3,90 – 6,20 mg/l (rek. > 6,0 mg/l)
BOD 5,17 – 9,27 mg/l (rek. 0-3 mg/l)
1). Perform Ekonomi (PDRB) :
- Perikanan naik : 48,8 % / thn
- Perd & Pariwisata naik : 19,5 % / thn
2). Biaya instansi LH/APBD : > 1 %
3). Bantuan dana LH : Annual Fee Inalum
4). Kegiatan ekonomi di darat :
- Pertanian tanaman pangan.
- Perkebunan rakyat.
- Peternakan dan
- Non pertanian (Industri, pariwisata).
5). Kegiatan ekonomi di danau :
- Perikanan KJA dan
- Transportasi air
6). Pola Usaha Tani Konservasi *) : 3,38
7). Pola Bakar Lahan U. Tani*) : 32,47 %
8). Limbah kegiatan usaha dan rumah tangga belum terkendali (cair dan padat).
Sosial-Budaya
Institusi
1). Penduduk miskin rata-rata : 19,69 %
2). TPAK : 69,30%
3). RT punya MCK*) : 54,81 %
4). Pendidikan < SLTP : 50,86 %
5). Pert. Penduduk rata-rata : 0,1%
6). Akses PAM : 28,85%
7). Air Minum Mata Air *) : 54, 29%
8). Akses Pel. Kesehatan : 0,20 %
9). Pengelolaan Sampah *):
- Buang sembarangan : 14,29 %
- Buang ke danau 5,79%
- Dibakar di pekarangan : 46,49 %
- Ditimbun di pekarangan : 8,31 %
- Dikelola Bersama/Kompos : 29,94%
10). Kearifan Tradisionil : mulai hilang

1). Lembagaan LH beragam, kapasitas rendah.
2). Program Institusi LH : belum fokus
3). Kerjasama antara lembaga bidang lingkungan belum ada
4). Keterlibatan masyarakat dalam ormas **)
- Kepemudaan : 10,38%
- Kegamaan : 28,10 %
- Kelompok Tani : 24,81 %
- Koperasi/KUD : 6,08 %
- Kelompok LH : 9,26 %
- Kelompok KB/Gizi : 4,56 %
- Kelompok Pemakai Air : 1,27 %
5). Instrumen Pengaturan 1 (Perda No. 1/1990) belum berjalan
6). Terbentuknya BKPEKDT
7). Lake Toba Manajemen Plan (LTEMP) belum tersosialisasi di masyarakat.
Sumber : Rona, Vol. 7 No. 3 Tahun 2008 BAPEDALDASU.

Dua persoalan pokok lingkungan hidup yang saling berintegrasi yaitu masalah fisik lingkungan hidup yang dicerminkan oleh indikator lingkungan kondisi lahan dan perairan dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat yang digambarkan dari indikator sosial, ekonomi dan institusi. Komponen lingkungan, sosial, ekonomi dan institusi saling berintegrasi, memunculkan potret kawasan dengan berbagai persoalannya muncul di lapangan.